Minggu, 21 November 2021

WARISAN IBU

 

Cerpen Yeni Suryani


 

 

Angin yang berhembus halus itu dengan lembutnya menyibak rambut putih yang menutupi seraut wajah yang sudah menampakkan keriputnya. Pancaran matanya yang sayu sedang asyik memandangi dua malaikat kecil yang sedang bermain di balik jendela. Senyum simpul sesekali terlihat di bibirnya yang mungil.

“Qillaaa hati-hati mainnya awas jatuh...” teriak wanita itu dengan penuh rasa khawatir.

Mendengar teriakan itu sontak saja tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke masa lalu tepatnya ke masa kecilku di mana aku sering mendengarkan teriakan itu. Teriakan yang tidak akan pernah aku lupa.  Sebuah teriakan yang keluar dari mulut seorang wanita yang begitu mengkhawatirkan anaknya. Beliau begitu bercahaya bagaikan seorang malaikat pelindung.

Sosok wanita yang menjadi malaikat pelindungku itu kupanggil Amih. Panggilan kesayangan untuk ibuku tersayang. Masa kecilku sangat jauh berbeda dengan keadaan yang dirasakan oleh anak-anakku sekarang ini. Dulu keadaan keluargaku serba terbatas banyak hal yang membatasi gerak langkahku dalam mengejar cita-cita, tapi semuanya berasa indah bagiku. Walaupun banyak kesedihan yang mewarnai masa kecilku tapi selalu ada seorang Amih yang selalu berusaha menguatkan aku.

Sabar. Itulah salah satu sifat yang membuat Amih terlihat begitu istimewa bagiku. Dari kecil beliau selalu mengajarkan anak-anaknya untuk selalu bersabar. Aku adalah anak ke tiga dari empat bersaudara. Kami tumbuh bersama di dalam lingkungan keluarga yang sangat sederhana.

Ayahku adalah seorang pemborong bangunan. Beliau bekerja di sebuah proyek pembangunan jembatan dan pembangunan tempat perusahaan lainnya. Upah ayahku lumayan besar ketika beliau mendapatkan proyek dari bosnya, tapi ketika proyeknya selesai, biasanya ayahku kembali menganggur. Terkadang cukup lama. Di situasi seperti inilah kesabaran ibuku diuji. Walaupun waktu itu aku masih duduk di bangku smp tapi aku sudah bisa merasakan beban yang dipikul oleh ibuku.

Ayahku menganggur di saat semua anaknya masih duduk di bangku sekolah. Setiap hari ibuku harus memutar otak mengatur keuangan untuk biaya sekolah kami. Setiap hari menjelang pagi di mana kami semua bersiap untuk pergi ke sekolah, aku selalu melihat raut wajah Amih yang kebingungan membagi uang untuk bekal sekolah kami. Dengan semampunya beliau membagi uang yang pas-pasan. Terkadang tidak cukup untuk bekal kami berempat.

“Sabar ya, Nak. Amih cuman bisa ngasih bekal buat ongkos angkot aja sama uang jajan yang hanya cukup buat beli gorengan saja. Nanti Amih tambahin ya kalau ayah sudah kerja lagi. Kalian harus belajar yang rajin supaya pintar dan sekolah yang tinggi. Biar jadi orang sukses tidak seperti ayah dan ibumu ini yang hanya lulusan Sd.”

            Kata-kata itulah yang tertanam di hati dan tidak akan pernah aku lupa. Kata-kata yang selalu menguatkan tekadku untuk terus berusaha dan belajar, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Amih mendidik kami untuk selalu mandiri. Selalu mengerjakan semua tugas sendiri baik tugas rumah ataupun tugas sekolah.

Kami semua sudah terbiasa mengerjakan tugas kami masing-masing dari mulai mencuci baju, mencuci piring dan nyetrika baju. Itu semua kami kerjakan masing-masing. Terkadang aku menganggap  sikap Amih yang seperti ini adalah suatu bentuk sikap yang jahat karena membiarkan anak-anaknya melakukan kewajibannya masing-masing setiap hari.

Di samping itu Amih adalah sosok yang sangat tegas, tepatnya galak. Apalagi sama anak perempuannya yaitu aku dan kakakku yang nomor satu. Amih sangat over protective.  Setiap kegiatan kami tidak pernah luput dari pengawasannya. Setiap kami pulang telat dari sekolah beliau sudah siap berjaga di depan jalan dengan raut wajah seperti macan mau menerkam mangsanya. Apalagi kalau urusan teman laki-laki tidak ada yang boleh datang ke rumah tanpa seijin beliau. 

Waktu terus berlalu. Sekarang tanpa disadari aku sudah berkeluarga. Aku sudah menikah dan dikaruniai empat orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Semua keadaan berbalik aku mulai mengalami dan merasakan semua perasaan yang dulu Amih rasakan ketika mengurusku waktu kecil. Anak-anakku mulai beranjak dewasa. Anak sulungku sudah duduk di bangku SMA. Anak keduaku sekarang menginjak bangku terakhir di SMP. Dan anakku yang ketiga juga sudah mulai memasuki bangku sekolah dasar. Sedangkan si bungsu pun sudah mulai memasuki usia aktif.

Setiap hari aku menghabiskan waktu di sekolah untuk mengajar, dan pulang kerumah dengan kondisi badan yang lelah. Melihat keadaan rumah yang berantakan karena aku tinggal bekerja, rasanya hati ini ingin teriak. Padahal ada dua orang gadis di rumah, tapi tidak satu orang pun dari mereka yang tergerak hatinya untuk membantu membereskan rumah. Di situlah aku mulai sadar mungkin aku terlalu memanjakan mereka sehingga mereka belum bisa mandiri, situasi ini menyadarkan aku ternyata didikan Amih yang menuntut anak-anaknya untuk mandiri itu memang sangat penting dan  harus diterapkan dari sejak anak masih kecil. Dan aku baru mengerti kenapa  Amih begitu keras menjadikan kami anak-anaknya menjadi anak-anak yang mandiri.

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore waktu itu, dan aku sudah berada dirumah. Namun, aku mendapati anak sulungku belum pulang kerumah. Kabar terakhir yang aku terima dia meminta ijin mau ikut kegiatan kerja kelompok di rumah temannya. Hari sudah menjelang maghrib tapi dia tak kunjung pulang. Aku sudah berusaha berulangkali menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban, dan ponselnya dalam keadaan tidak aktif.

Seketika muncul perasaan khawatir dan waswas yang teramat sangat. Aku sudah berusaha juga menghubungi semua teman-temannya tapi tidak ada yang tahu dimana keberadaan anakku. Suara adzan maghrib pun tiba dan menambah suasana menjadi tegang karena suasana hari sudah semakin gelap.

“Akhirnya kamu merasakan apa yang Amih rasakan dulu ketika kamu pulang sekolah telat. Masih mending sekarang sudah ada ponsel yang bisa dihubungi. Waktu dulu Amih lebih bingung mau cari kamu kemana.”

Seketika lututku lemas dan badanku gemetaran mendengar perkataan Amih itu. Dulu dengan santainya aku tenang bermain dengan teman sampai sore tanpa memperdulikan perasaan Amih. Sekarang ternyata aku merasakan apa yang Amih rasakan dulu, ketika aku telat pulang sekolah. Rasa khawatir yang besar karena takut terjadi apa-apa dengan anakku.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka pintu. Ternyata anakku yang datang. Tanpa pikir panjang aku langsung memakinya dengan perasaan kesal, karena dia sama sekali tidak memberi kabar, tanpa aku tanya alasannya. Seketika itu anakku langsung menangis dan meminta maaf dia tidak memberi kabar karena ponselnya kehabisan baterai dan dia lupa tidak membawa charger. Akhirnya akupun memeluknya dan menjelaskan kalau mamahnya ini sangat khawatir.

            Semua kejadian yang terjadi di dalam hidupku ini telah menyadarkanku akan semua sikap dan didikan yang diwariskan oleh ibuku dari sejak aku kecil. Ternyata memang benar adanya seorang sosok malaikat pelindung itu. Begitu banyak pelajaran yang berharga yang aku dapat darimu Amih. Baru sekaranglah aku sadar sikap tegasmu bahkan cenderung galak itu adalah bentuk kasih sayang yang engkau berikan untuk anak-anakmu. Semoga aku bisa menjadi sepertimu. Semoga aku dapat mewarisi semua sifat muliamu. Terimakasih ibuku sayang, yang akan selalu menjadi malaikat pelindungku sampai akhir hayatmu.

SEMUA TERGANTUNG NIAT

 

Cerpen Suji Priyanto



 

Suatu hari seseorang bersilaturahmi ke rumah Buya Hamka seorang ulama terpandang pada jaman presiden Sukarno.

Tamunya itu berkata bahwa di Arab, wanita tuna susila itu memakai cadar dan hijab.

Jawaban Buya Hamka tidak terduga.”Oh ya? Beberapa waktu lalu saya dari Los Angeles dan New York, Masya Allah, ternyata disana tidak ada Wanita tuna susila.” Ujar Buya Hamka.

“Ah tidak mungkin Buya, di Makkah saja ada kok. Apalagi di Amerika, pasti disana lebih banyak lagi.” ucap Tamunya.

Buya Hamka tersenyum lalu menjawab dengan nada halus.”Kita ini memang hanya akan dipertemukan dengan apa-apa yang kita cari.”

“Meskipun kita di Mekkah, tetapi jika yang diburu oleh hati adalah hal-hal yang buruk, maka setan dari golongan jin dan manusia akan berusaha membantu kita untuk mendapatkannya.”

“Namun sebaliknya, sejauh perjalanan ke New York ataupun Los Angeles, bila yang dicari adalah kebajikan dan kebaikan, maka segala kejelekan akan enggan muncul dan akan bersembunyi.” Tutup Buya

Pelajaran yang  bisa kita ambil dari kisah ini adalah kita akan bertemu dengan apa yang kita cari, jika kita mencari keburukan maka kita akan mendapatkan keburukan, jika sebaliknya kita mencari kebaikan maka kebaikan juga yang akan kita dapatkan.”

Kita juga bisa membawa kisah ini kepada hal yang lebih luas yaitu betapa pentingnya mindset untuk kesuksesan dan kebahagiaan.

Jika kita berpikir bahwa hidup ini sulit, hidup ini penuh dengan keburukan, bahwa kita tidak memiliki kemampuan untuk sukses dan bahagia.

Maka kita akan bertemu dengan hal-hal yang mendukung itu semua, kita akan menemukan bahwa skill kita tidak mumpuni, bahwa merasa orang2 disekitar kita jahat, keadaan yang tidak mendukung dan lain sebagainya.

Namun jika kita memiliki mindset, bahwa kita yakin akan sukses dan bahagia, maka kita juga akan menemukan hal-hal yang mendukung kita untuk hal itu, kita akan dipertemukan dengan orang yang tepat, akan dipertemukan dengan kesempatan dan lainnya.

Selalu ingat perkataan Henry Ford bahwa Baik kamu berpikir bisa utau kamu berpikir tidak bisa, keduanya benar.

Yuk kita jalani masa depan dengan positif, penuh semangat karena yakin kita akan sukses dan bahagia.

BIMA


Cerpen Rahayu Purwaningsih, S.Pd



 

Kakek Ghazali melangkah terbungkuk-bungkuk. Ia mengenakan  sarung tangan. Menghampiri selokan di depan pagar. Sebuah cangkul kecil dan sapu lidi berada dalam genggaman tangannya.

“Mau ke mana, Kek?” Tiba-tiba saja Bima, anak laki-laki tetangga Kakek Ghazali  menghampiri. Peluh menetesi dahinya.

Kakek Ghazali menyipitkan matanya yang rabun berkabut. Ia mengamati orang yang baru saja menyapanya. Maklumlah, dengan pengelihatan yang rabun seperti itu, Kakek Ghazali agak sulit mengenali.

“Bima?”

“Iya, Kek. Ini Bima. Kakek mau ke mana?”

“Oooo, ini Bim. Kakek mau bersihkan sampah di selokan. Biasanya tiga hari sekali kakek bersihkan, agar aliran air tidak tersumbat dan berbalik ke pipa pembuangan air kakek. Bikin banjir kamar mandi.”

“Oooo…” sahut Bima. Dia hanya memperhatikan saja saat Kakek Ghazali mendekati saluran air di depan pagar rumahnya.

“Lho?” Suara Kakek Ghazali terdengar terkejut.

“Ada apa, Kek?”

“I—ini. Ini—” Kakek menunjuk saluran air yang bersih. Tumpukkan sampah bercampur lumpur teronggok di bak sampah. “Kok saluran airnya sudah bersih ya? Siapa yang membersihkan?” Kakek Ghazali terlihat bergumam kebingungan.

Bima mendekati Kakek Ghazali. Melongok ke arah saluran air yang memang sudah bersih.

“Mungkin dibersihkan petugas, Kek.” Bima tersenyum. Kakek Ghazali hanya mengangguk-angguk.

***

 

“Bimaaaa! Kenapa celanamu kotor dan bau got begini?” Ibu berseru kesal saat akan memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Pakaian Bima bau sekali. Juga sangat kotor, penuh dengan noda hitam lumpur.

Bima menghampiri Ibu sambil tersipu malu.

“Maaf, Bu.”

“Jelaskan pada Ibu.”

“Itu, Bu. Tadi—tadi Bima membersihkan saluran air di depan rumah Kakek Ghazali. Kasihan, Bu. Musim hujan begini, saluran airnya sering meluap karena banyak sampah yang menyumbat. Jadi Bima bersihkan….”

Ibu menatap Bima tak percaya. Ibu bangga, sebab Bima rela mengotori diriny demi membantu orang tua seperti Kakek Ghazali.

“Ya, sudah. Tapi lain kali, baju kotor seperti ini jangan langsung dimasukkan ke dalam mesin cuci. Nanti kotorannya mengenai pakaian-pakaian lain yang tidak terlalu kotor.”

PENEMPUH JALAN HIJRAH

 Cerpen Lily Nuraini Damayanty, S.Pd







Sebut saja dia Ade. Sebab bagiku ia adalah seorang adik lelaki yang aku sayangi, meskipun bukan adik kandungku sendiri. Rumah kami berdekatan, bahkan orang tua kami pun memiliki kedekatan layaknya saudara sesungguhnya. Saking dekatnya, Ade memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan Bapak dan Ibu. Sementara, aku menyebut orang tuanya dengan panggilan Bapak dan Mama.

            Sebenarnya, dalam keluarganya, tidak hanya Ade yang dekat denganku. Kakaknya, Ina, juga merupakan kawan sepermainanku. Namun, ceritaku kali ini akan kufokuskan pada Ade, sebab jalan hidupnya yang menurutku begitu menarik.

            Ade dilahirkan saat Ina berusia empat tahun. Usiaku sendiri saat itu baru tujuh tahun. Aku dan Ina sama antusiasnya menyambut kelahiran Ade. Sebab selama ini, kami sama-sama menginginkan keberadaan seorang adik. Ina sangat beruntung, sebab keinginannya terkabul. Ia memiliki Ade. Tiga tahun kemudian ia bahkan memiliki seorang adik lagi, Ira. Sementara aku, harus puas menjadi bungsu dalam keluarga.

            Maka tak heran, jika aku sangat menyayangi Ade. Aku selalu menganggap Ade kecil adalah adikku. Setiap hari aku datang ke rumahnya hanya untuk menggendong bayi mungil itu. Mama Ina mengijinkan, dan mengajari aku bagaimana cara melakukannya. Ina bahkan tidak dibolehkan untuk melakukan itu.

Semakin hari, Ade tumbuh semakin lucu. Ia adalah bayi montok yang sangat menggemaskan. Aku masih mengingat bagaimana manisnya saat dia tersenyum. Mulut kecilnya akan merekah lebar, dan mata sipitnya akan menyisakan garis tipis di wajah.

Setiap sore, sehabis mandi, aku pasti sudah standbye di rumah Ina. Hanya untuk menyaksikan Mama Ina memandikan Ade. Bagiku kegiatan itu merupakan sebuah ritual menarik yang tak boleh aku lewatkan. Aku bahkan sampai hapal urutannya. Pertama, Mama akan mencampur air panas dan air dingin ke dalam bak mandi bayi, memasukkan Ade ke dalamnya, lalu memulai prosesi mandi itu dengan menyampo rambut Ade. Kemudian ia akan membilasnya hingga bersih. Setelah itu dilanjutkan dengan mengusapkan sabun ke seluruh bagian tubuh Ade, sambil membersihkan dan memijatnya perlahan. Ade biasanya terlihat begitu menikmati saat-saat itu. Dia akan tersenyum bahkan mengoceh riang. Mama Ina tidak berhenti mengajaknya berbicara selama proses memandikan. Dan aku, selalu menyimak dan menikmati momen-momen itu dengan takjub.

Setelah proses memandikan, ada proses lain yang juga selalu tak pernah kulewatkan. Yaitu saat Mama Ina mendandani Ade. Di meja, akan ditata sedemikian rupa; pakaian, bedak, dan perlengkapan bayi lainnya. Kemudian, Mama akan memulainya dengan membalurkan minyak telon ke dada, perut, telinga dan ubun-ubun Ade. Disusul dengan bedak. Setelah itu, memasangkan baju dan celana Ade. Membedaki wajahnya. Menyisir rambutnya. Terakhir, menyemprotkan parfum bayi yang segar ke tubuh kecil itu.

Jika sudah selesai seperti itu, maka biasanya Mama Ina akan menyerahkan Ade kepadaku. Aku akan mengajaknya bermain di rumahku, atau sekedar berjalan-jalan. Saat usia Ade sudah lebih besar, tidak jarang aku dan Papa  mengajaknya bersepeda. Itu berlangsung sampai Ade besar. Tidak heran jika Ade juga begitu dekat dengan papaku. Saat beliau berpulang beberapa tahun kemudian, Ade merasa sama kehilangannya dengan denganku.

***

 

Aku cenderung tumbuh sebagai gadis yang tomboy. Walaupun aku menyukai permainan anak perempuan,  aku juga suka sekali memainkan permainan anak laki-laki. Bisa ditebak, dengan siapa aku memainkan permainan-permainan itu ‘kan? Ya, benar. Tentu saja dengan Ade.

Aku sering sekali menghabiskan waktuku bermain bola kaki dengan Ade. Saat Ade beranjak besar, aku juga mengajaknya bermain catur. Belakangan, dia lebih sering mengalahkan aku dalam bertanding catur. Padahal, aku yang dulu mengajarinya. Kami juga sering menghabiskan waktu memancing bersama di kolam depan rumahku. Dia senang sekali bila kailnya berhasil mendapatkan ikan besar.

Saat aku SMA—Ade masih SD saat itu—aku suka sekali mendengarkan musik. Aku bahkan ingin sekali bisa bermain gitar. Dengan uang yang berhasil aku kumpulkan, kuajak Ade ke toko alat musik. Ternyata Ade juga senang sekali. Jadi kubiarkan dia yang memilihkan gitar untukku—dengan bantuan penjualnya, tentu saja. Akhirnya pilihan jatuh pada gitar berwarna biru metalik. Bukan gitar mahal, memang, tapi aku dan Ade suka sekali.

Aku ingat, berhari-hari kami mencoba memainkan gitar itu berdua. Padahal, tidak ada satu pun dari kami yang mengerti bagaimana caranya. Selain itu, kami juga menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan band-band yang kami sukai saat itu. Ya, sedekat itu memang kami saat itu. Bahkan dengan kakak lelakiku, aku tidak seperti itu.

Kebersamaanku dengan Ade terhenti saat aku meninggalkan kota kami untuk kuliah di Bandung. Kesibukan kuliah membuatku jarang berkomunikasi dengan Ade. Sesekali saat aku pulang, kami masih menghabiskan waktu bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, Ade pun memiliki kegiatan dengan teman-temannya. Saat itu, Ade sudah duduk di bangku SMP.

***

 

Di tahun-tahun terakhir aku di Bandung, beberapa kali kudengar kabar kurang menyenangkan tentang Ade. Bahkan beberapa kali Mama Ina memintaku untuk bicara dengan Ade. Menasihati Ade, tepatnya. Karena kini Ade berubah. Perangainya menjadi lebih keras. ia sering marah dan memaksakan keinginannya pada Mama Ina.

Kemudian aku tahu, bahwa di keluarga Mama Ina ada terjadi masalah. Kupikir, salah satu penyebab dari berubahnya sifat Ade, tidak lepas dari masalah tersebut. Mungkin Ade marah pada keadaan. Pelariannya, ya dengan menjadi seperti saat itu. Ditambah dengan pergaulan juga, mungkin. Ya, dia yang saat itu membentuk grup band bersama teman-temannya, sepertinya terbawa pergaulan yang kurang baik.

Aku tentu saja bersedih dengan keadaan itu. Namun, kesempatan untuk bicara dengan Ade begitu sulit. Apalagi, setelah lulus kuliah aku pindah ke kota lain, bekerja di sana, dan hanya pulang satu minggu sekali ke rumah. Itu pun jarang sekali bisa berjumpa dengan Ade.

Satu tahun kemudian aku bahkan merantau ke luar pulau. Menghabiskan masa sepuluh tahun di rantau orang. Semakin jaranglah aku bertemu dengan adikku. Walaupun kabar tentangnya masih selalu kudengar.

Berbagai masalah datang menguji keluarga Ade. Terakhir, kudengar Ade begitu kecewa karena suatu hal. Kekecewaan itu, ditambah dengan ujian-ujian lain yang menimpa keluarga Ade—yang tak mungkin aku ceritakan di sini. Dan itu membuatku merasa begitu khawatir. Namun, apalah daya, aku hanya mampu mendoakan dari jauh. Mendoakan kebaikan-kebaikan untuk Ade dan keluarganya.

***

 

Allah hanya akan menguji seseorang sesuai dengan batas kemampuannya. Kalimat tersebut menurutku benar adanya. Aku  menyaksikan, bagaimana Ade, berhasil melalui semua ujian yang menghampirinya. Menurut cerita ibuku, Ade telah mengalami sebuah pengalaman spiritual yang membuatnya berubah. Berubah menjadi jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya.

Tidak ada lagi Ade yang keras. Tidak ada lagi Ade yang dulu sering membuat Mama Ina berkeluh kesah bahkan menangis di dekat ibuku. Aku bahkan melihat sendiri bagaimana Ade kini. Begitu santun. Begitu penyayang, Bahkan sikapnya begitu lembut kepada orang-orang yang dulu telah mengecewakannya.

Ade telah berhasil hijrah. Dia bahkan meninggalkan semuanya. Meninggalkan band-nya. Meninggalkan pekerjaan lamanya dan memulai usaha yang menurutnya lebih berkah dan diridhai Allah. Aku melihat dari jauh keteguhannya. Juga bagaimana dia berusaha menjunjung prinsip hidupnya. Dan, aku tentu saja senang melihatnya. Aku bahkan merasa, betapa aku belum mampu untuk dapat seperti Ade saat ini.

Aku hanya mampu mendoakan agar Ade senantiasa istiqomah. Juga agar aku pun bisa seperti Ade. Menjadi lebih baik dari hari ke hari. Bukankah akan termasuk orang-orang yang merugi, jika kita tidak menjadikan diri kita lebih baik dari hari kemarin? Dan aku sungguh tidak menginginkan, berada dalam kumpulan orang-orang yang merugi.

Bandung Barat, 19 November 2021

RATU TAK BERMAHKOTA

 Cerpen Dati Dahliana, M.Pd



 

Mungkin aga sedikit aneh ditelinga, siapa sih Ratu Tak Bermahkota itu?. Sosok yang selalu memberikan kenyamanan dan kehangatan. Terpendar sempurna dan tak pernah pudar. Aku banyak belajar dari hal-hal yang kecil sampai besar. Mungkin dia selalu ada disisiku memberikan inspirasi dan motivasi dalam hidup untuk tetap berjuang melawan derasnya kehidupan.

Durasi waktu yang begitu singkat membawaku lari dari kenyataan. Bahagia rasa memilikimu namun sedih begitu kehilanganmu. Hai... dimanakah sosok yang selalu aku rindukan, sahabatku tersayang pergi untuk menunaikan tugas yang lainnya. Mungkin ini agak sedikit aneh ditelinga setiap orang, kenapa aku selalu mengidolakan dia? Mengapa harus dia yang menjadi sumber inspirasiku?

Selamanya menyisakan duka yang begitu lara. Bagaimana mungkin aku bisa kehilangan, tapi itulah kehidupan yang harus aku jalani. Masih teringat dibenakku sosok yang Humble tanpa pernah sedikitpun mengeluh dia lakukan segalanya. Aku tahu mungkin ini aga sedikit lebay kata orang jaman NOW tapi itulah aku dan kisahnya.

Persahabatan kami tak terasa sudah hitungan tahun, aku ingat sekali jatuh bangunnya dia seperti apa, tapi dia jalani tanpa ada sedikitpun keluh kesah atau mungkin rasa penyesalan, dibenaknya hanyalah bagaimana dia bisa membahagiakan orang tua yang sangat dia cintai. Kami satu profesi, yah walaupun kami masih guru honorer tak menyurutkan langkah kami untuk tetap berjuang menghidupi keluarga masing-masing.

Hobi membawa kehidupan baru bagi sahabatku ini, dia suka sekali dengan memasak bahkan sampai membuat kueh, terbersit dalam ingatanku kalau dia orang yang sangat gesit, padahal dia mengajar ditempat yang berbeda, sekarang ditambah lagi usaha yang tengah dirintisnya. Dari sinilah awal kesuksesan dia, sebelumnya dia hanya mengikuti les membuat kueh disalah satu tempat kursus kenamaan, hingga pada suatu ketika dia memberanikan diri untuk membuka usaha yang baru, berawal dari rumah kemudian memiliki sebuah toko dipinggir jalan.

Namun hasil yang dia peroleh mungkin belum maksimal karena satu dan lain hal, tapi sosok yang Humble ini tak pernah menyerah, dia selalu berusaha dan berusaha sampai dia bisa membuka lapangan kerja bagi orang banyak. Bayangkan seorang guru honorer bisa membuka lapangan pekerjaan, amazing bukan?. Aku sangat kagum dibuatnya. Dari keteladanan dia, aku bisa melihat bahwa sahabatku ini memiliki jiwa kepemimpinan, dia bisa memanaje orang lain yang tentunya baru saja dia kenal, tapi dia bisa melakukan itu semua. Rintisan usahanya selalu didampingi suami tercinta orang yang selalu ada untuknya dan memberikan dukungan penuh bagi dia.

Aku jadi teringat masa kerja dulu sebelum dia pamit dari tempat kerja yang lama, dia masih berjualan tas dan menawarkan kepada teman-temannya, mungkin awal mula usaha dia itu, namun tak disangka setelah keluar dari tempat kerja yang lama justru memunculkan rejeki baru bagi kehidupannya, walaupun dia masih berprofesi sebagai seorang guru SD tapi dia tak pernah kehilangan ide cemerlangnya, hingga saat ini rintisan toko kuehnya yang bernama HAZEL_CAKES, yang diambil dari salah satu nama putra yang dia cintai.

Toko kue yang dibangun penuh cinta ini akhirnya menjadi besar, dia memiliki beberapa orang karyawan yang membantunya.Walaupun dia memiliki 3 orang buah hati, namun dia pandai membagi waktu dan tugasnya. Salut bukan?. Dari orang yang sederhana berubah menjadi orang yang luar biasa, tapi dia tetap saja orang yang sederhana dan tidak pernah sombong, itulah yang aku suka darinya.

Kehidupan yang sempat terombang ambing dulu kini berbuah manis, bahkan bisa menghasilkan segalanya, berkat kegigihan dan keuletan yang dia lakukan. Sampai disini aku menjadi paham, bahwa hidup enak itu harus selalu ada perjuangannya walaupun kita pernah berada dititik yang paling rendah sekalipun, tapi jika kita mau berusaha dan keluar dari keterpurukan, niscahya ALLAH akan menunjukkan jalannnya bagi orang-orang yang ingin keluar dari permasalahannya dan ingin berubah.

Bahagia sekali bisa melihat sahabatku ini. Hal inilah yang membuat aku kagum padanya, selain pintar karena dia memiliki keilmuan, namun juga memiliki keluarga yang selalu memberikan dukungan. Kisah ini aku dedikasikan untuk sahabatku tercinta Siti Johariah S.Pd,Yoga, Hazel Rasendrio Zafran, Aneska Mikhayla Rashi, Annaya Mikhayla Zahsy.

MERAIH IMPIAN DI TENGAH KETERBATASAN

Cerpen Dian Mardiana, S. Pd





Sejak lahir pemuda berwajah rupawan itu dipanggil anak emas. Kehadirannya sangat dinantikan Bu Marni dan Pak Mardi setelah lima tahun pernikahannya. Saat berusia 8 tahun dia mengalami sakit yang membutuhkan perawatan intensif. Rasa sakit di bagian kepala seringkali dirasakan Radi. Bu Marni pun tak kuasa melihat kondisi anaknya yang sering mengalami kesakitan bahkan sampai membuat Radi tak sadarkan diri menahan rasa sakitnya. Sampai akhirnya Pak Mardi memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit daerah setempat.

“Dokter...dokter tolong bantu sembuhkan anak saya,” ucap Bu Marni sambil menangis.

“Kenapa dokter dengan anak saya?” tambah Pak Mardi.

Dokter dengan bantuan suster yang saat itu sedang jaga malam, langsung bergegas menuju ruang tindakan pasien. Setelah beberapa hari, hasil diagnosa  menyatakan bahwa Radi mengidap penyakit kanker. Bu Marni dan Pak Mardi sangat terpukul mendengar hasil diagnosa yang disampaikan dokter. Mereka pun berupaya dan berdoa untuk kesembuhan anaknya.

Hampir tiga bulan Radi mendapatkan perawatan di rumah sakit dan membutuhkan biaya yang tak sedikit. Untuk membiayai penyembuhan sakit Radi, mengharuskan Pak Mardi menjual rumah. Karena biaya rumah sakit yang sangat mahal, dengan berat hati pak Mardi memutuskan untuk merawat Radi di rumah kontrakan dan melanjutkan pengobatan dengan mencoba beberapa pengobatan alternatif. Setelah beberapa bulan menjalani pengobatan alternatif, akhirnya kondisi Radi semakin membaik sampai dinyatakan terbebas dari penyakit kanker berdasarkan hasil pemeriksaan terakhir dari rumah sakit.

Alhamdulillah, Nak…kamu bisa sembuh dan tumbuh menjadi anak yang sehat,” ucap Bu Marni.

“Terimakasih, Bu, atas kesabaran dan doa yang selalu Ibu ucapkan untuk kesembuhan Radi,”  ucap Radi.

Semakin hari kondisi Radi semakin membaik dan tumbuh menjadi pribadi yang memiliki akhlak yang baik dan taat pada agama. Selepas pulang sekolah dia selalu mengikuti kajian keagamaan di masjid yang dekat dengan rumahnya. Bu Marni bangga anak laki-laki yang diinginkannya tumbuh menjadi pribadi yang taat pada agama.

Ketika tumbuh dewasa Radi pun memutuskan untuk menikah dengan perempuan pilihannya, sehingga dengan berat hati Bu Marni dan Pak Mardi harus merelakan anak laki-laki kesayangannya untuk tinggal bersama istrinya. Setelah beberapa bulan menikah Radi pun dikaruniai seorang anak laki-laki. Dia hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Sebagai seorang pemimpin dalam rumah tangga dia adalah sosok yang penyabar, bertanggung jawab dan ucapannya bisa menyejukkankan hati bagi keluarga. Tutur katanya yang baik dan sopan, seringkali menjadikannya sebagai pembicara di berbagai acara baik dalam acara pertemuan keluarga, pernikahan, ataupun keagamaan. Pesan yang disampaikannya sangat menyentuh dan menyejukkan hati yang mendengarkannya.

Di tengah kesibukannya sebagai buruh pabrik tektstil yang berada di wilayah Bandung, Radi tetap menyempatkan waktu untuk mengikuti kajian keagamaan dan mengajar ngaji anak-anak di masjid sekitar tempat tinggalnya. Sampai akhirnya mendapat panggilan Ustadz Radi dari anak-anak yang diajarkannya. Sosok Ustadz Radi yang humble dan humoris membuat suasana di tempat belajar mengaji menjadi menyenangkan.

“Anak-anak, salah satu kewajiban kita sebagai anak yaitu berbakti kepada orang tua. Mumpung orang tua kita masih hidup, bahagiakan mereka sebagaimana mereka membahagiakan kita sewaktu kita masih di kandung, saat lahir dan sampai kita sudah dewasa,”  ucap Ustadz Radi.

“Iya….Insyallah, Pak Ustadz,”  ucap sebagian anak-anak.

Dia sosok yang gigih dalam bekerja untuk menafkahi keluarga dan membantu orang tuanya yang saat ini sudah tidak bekerja. Do’a dan harapannya selalu tercurah untuk kebahagiaan keluarga dan orang tuanya. Pada suatu waktu pekerjaan di pabrik sangat menumpuk, banyak laporan agenda kerja yang harus diselesaikan. Waktu menunjukkan pukul 5 sore, sudah seharusnya seluruh karyawan pulang. Hanya saja saat itu pekerjaannya belum selesai sehingga mengharuskan Ustadz Radi lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya sampai larut malam.

Saat sedang menyelesaikan laporan tiba-tiba penglihatannya kabur dan buram. Hal ini sering terjadi, hanya saja ia sering mengabaikannya. Sejenak dia memejamkan matanya, namun saat dibuka perlahan penglihatannya masih terlihat kabur. Dia langsung berlari menuju masjid, sesampainya di masjid tiba-tiba penglihatannya gelap dan tidak bisa melihat keadaan di sekitarnya. Ia pun terkejut dengan kondisi yang dialaminya. Selama berada di masjid ia pun terus bersujud, tak henti-hentinya berdo’a dan berdzikir kepada Allah SWT. Air matanya pun tak terbendung dengan kondisi yang dialaminya, ia khawatir apabila tidak bisa melihat lagi seperti biasanya.

Astagfirullah aladzim, apa yang terjadi dengan penglihatanku? Ya Allah... berikanlah kesembuhan untuk penglihatanku,” ucap Ustadz Radi.

Setelah beberapa saat Ustadz Radi pun mencoba membuka matanya secara perlahan, penglihatannya bisa melihat kembali hanya saja seringkali tiba-tiba buram. Ia pun meminta bantuan teman untuk mengantarkan kerumah karena kondisi penglihatannya yang belum membaik. Keesokan harinya Ustadz Radi memutuskan untuk berobat ke rumah sakit cicendo Bandung. Hasil pemeriksaan dokter menyatakan bahwa Ustadz Radi terkena Glaukoma, apabila tidak ditangani dengan cepat akan mengakibatkan kebutaan total. Dokter menyarankan segera di operasi untuk mencegah kebutaan total dan mengurangi gejalanya.

            Beberapa minggu kemudian operasi pun dijalani, istri dan kedua orang tuanya senantiasa selalu berdo’a untuk kesembuhan Ustadz Radi. Operasi dilakukan untuk menurunkan tekanan pada bola mata, serta mengurangi rasa sakit pada mata yang tertekan cairan berlebih. Namun mata sebelah kanan saja yang bisa dilakukan pencegahan, karena kondisi mata sebelah kiri kondisinya sudah akut dan mengalami kebutaan. Hal ini disebabkan karena terlambat mendeteksi dan penanganan gejala yang terjadi.

            Dengan kondisi penglihatan saat ini, dia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk bisa melihat meskipun hanya sebelah mata yang berfungsi. Dia selalu mengajarkan kepada istri, anaknya dan anak-anak yang dibimbingnya mengaji untuk selalu bersyukur atas apa yang sudah diberikan oleh Allah SWT. Dengan kondisi saat ini tidak menyurutkan kegigihan Ustadz Radi dalam bekerja, bahkan dia sering mengikuti ceramah keagamaan. Di sela waktu liburnya dia memanfaatkan waktunya untuk memperdalam ilmu agama dan seringkali menjadi penceramah di beberapa kegiatan keagamaan.

            Doa dan harapan selalu dipanjatkan untuk kebahagian keluarga kecil dan kedua orang tuanya. Salah satu keinginan terbesarnya ia ingin memberangkatkan orang tuanya menjalankan ibadah haji. Dari hasil penghasilannya ia selalu sisihkan untuk menabung agar kedua orang tuanya bisa menjalankan ibadah haji. Meskipun penghasilannya tidak besar dan harus mencukupi kebutuhan keluarganya, ia tetap berupaya ingin mewujudkan harapan kedua orang tuanya untuk menjalankan ibadah haji. Bahkan ia mengesampingkan kebutuhan dirinya sendiri, yang membutuhkan kendaraan untuk bekerja karena kondisi motor yang saat ini digunakan sudah tua dan seringkali mogok di tengah perjalanan. Meskipun demikian Ustadz Radi tetap bersabar, selalu bersyukur dan tidak pernah mengeluh dengan apa yang dimilikinya.

            Kondisi motor tua yang ia gunakan saat ini dalam keadaan kurang baik dan ada beberapa bagian yang harus diperbaiki, seperti remnya yang kurang berfungsi dengan baik dan lampu motor yang sudah rusak. Dengan kondisi motor yang demikian dan kondisi penglihatannya saat ini mengakibatkan Ustadz Radi mengalami kecelakaan tunggal menabrak truk yang parkir di pinggir jalan saat dia pulang kerja malam. Kecelakaan ini mengakibatkan kaki sebelah kanan Ustadz Radi patah dan mengharuskannya istirahat dirumah dalam waktu beberapa minggu sambil menjalani terapi untuk proses penyembuhan kakinya.

Mendengar kabar Ustadz Radi kecelakaan, pimpinan pondok pesantren datang menengok kerumahnya. Setelah mendengar kronologis kejadiannya ia pun merasa empati dengan kejadian yang telah menimpa Ustadz Radi. Melihat kondisi motor yang sangat rusak parah, akhirnya pimpinan pondok pesantren pun memberikannya motor untuk digunakan bekerja pada saat Ustadz Radi kondisinya sudah membaik. Ia pun keberatan dan menolak pemberiannya karena terlalu banyak bantuan yang sudah diberikan.

“Tolong Ustadz hargai itikad baik saya dan kebetulan motor ini juga jarang dipakai, jadi dari pada mubazir tidak terpakai saya amanahkan kepada Ustadz Radi untuk menggunakannya,” ucap pimpinan pondok pesantren.

Mendengar ucapan dari pimpinan pondok pesantren itu, Ustadz Radi pun tak kuasa menolak pemberiannya. Ia sangat berterima kasih dan bersyukur karena dikelilingi orang-orang yang baik di sekitarnya. Sehingga saat ini ia hanya fokus untuk kesembuhan kakinya dan tidak perlu memikirkan lagi biaya servis untuk memperbaiki motor tua kesayangannya yang mengalami kerusakan parah..

Setelah menjalani terapi pengobatan kakinya, semakain hari kondisi Ustadz Radi semakin membaik. Ia pun bisa kembali bekerja dan mengikuti kegiatan rutin di pesantren bahkan menjadi penceramah di beberapa kegiatan pengajian dari masjid ke mesjid. Pada satu waktu di tempat Ustadz Radi memperdalam ilmu agama dibuka pendaftaran untuk melaksanakan ibadah Umroh. Ia sangat ingin mendaftarkan kedua orang tuanya, namun uang tabungannya masih belum cukup. Akhirnya ia pun berupaya untuk mencari pinjaman di koperasi tempatnya bekerja. Dari hasil uang tabungan dan pinjamanya, ia pun langsung mendaftarkan kedua orang tuanya tanpa sepengatahuan mereka.

Beberapa bulan kemudian, informasi keberangkatan ibadah Umroh pun yang ditunggunya telah tiba. Ia sangat senang dan langsung memberikan kabar gembira itu kepada orang tuanya. Mendengar kabar gembira tersebut Bu Mirna dan Pak Mardi sangat terharu sampai meneteskan air mata atas kejutan yang telah diberikan oleh putra satu-satunya itu. Ini merupakan impian mereka yang selalu diucapkan kepada Ustadz Radi. Hanya saja harapan mereka, Ustadz Radi pun bisa ikut untuk menemani dan mendampingi kedua orang tuanya untuk melaksanakan ibadah Umroh.

“Radi kan masih ada kesempatan di lain waktu Pak…Bu…untuk melaksanakan ibadah Umroh, saat ini bapak sama ibu dulu yang berangkat. InsyaAllah nanti kalau ada rezekinya semoga kita bisa berangkat bersama-sama.”

“Terimakasih, Nak, atas apa yang sudah kamu berikan, Ibu sangat bersyukur dan bangga memiliki anak sepertimu,” ucap Bu Mirna sambil menangis tersedu-sedu dan memeluk Ustadz Radi.

Sebelum beberapa hari keberangkatan, Ustadz Radi pun sibuk mempersiapkan perlengkapan kebutuhan kedua orang tuanya selama ibadah Umroh. Menjelang beberapa hari keberangkatan, Ustadz Radi mendengar kabar dari pesantren tempatnya memperdalam ilmu agama bahwa akan ada beberapa jamaah dari pesantren tersebut yang akan diberangkatkan mengikuti ibadah Umroh dengan rombongan sekarang. Ia pun tidak banyak berharap mengingat masih baru bergabung di pesantren tersebut. Setelah mengisi ceramah dalam acara pengajian di masjid, pimpinan pondok pesantren yang merupakan pemilik salah satu agen travel di Bandung menghampiri dan menawarkan untuk ikut dalam rombongan keberangkatan Ibadah Umroh pekan depan bersama orang tuanya.

Mendengar tawaran tersebut Ustadz Radi sangat terkejut dan tidak percaya impiannya selama ini bisa terwujud. Seolah tidak percaya, ia pun bertanya berulang-ulang keseriusan tawaran tersebut.

“Alhamdulilllah Ya Allah…Engkau telah mengabulkan do’aku selama ini,” ucap Ustadz Radi sambil bersujud syukur dan meneteskan air mata.

Sesampainya dirumah ia pun langsung menyampaikan kabar gembira tersebut kepada orang tuanya.

“Alhamdulillah Pak…Bu…saya mendapatkan tawaran untuk berangkat ibadah Umroh bersama Ibu dan Bapak,” ucap Ustadz Radi. Mendengar kabar tersebut Bu Marni dan Pak Mardi sangat senang karena impian dan doa mereka selama ini dapat terwujud. Ustadz Radi pun sibuk mempersiapkan kebutuhannya mengingat waktunya tinggal beberapa hari lagi. Sampai hari keberangkatannya rasa haru dan tak percaya masih dirasakan Ustadz Radi bisa melaksanakan ibadah Umroh bersama kedua orang tuanya.

Sesampainya di Tanah Suci, ia pun tak henti-hentinya berdzikir dan bersyukur mengucapkan Alhamdulillah, Subhannallah dan Allahu Akbar. Rasa tidak percaya dan seperti mimpi karena hal yang diinginkan dan do’a dari kedua orang tuanya selama ini bisa tercapai. Mungkin inilah yang bisa ia berikan untuk membahagiakan kedua orang tuanya meskipun tidak sebanding dengan pengorbanan dan kasih sayang yang telah diberikan selama ini. Selama beribadah di Tanah Suci tiada hentinyado’a selalu dipanjatkan untuk kebahagiaan mereka dan keluarga kecilnya.

TELAGA DO'A IBUNDA

 Cerpen Citra Roska Awaliyah M.Pd


Ibuku, sosok wanita sholehah, cerdas, kreatif dan tangguh. Betapa tidak, ijazah PGA (Pendidikan Guru Agama) disimpannya dalam lemari, demi menyandang gelar Ibu Rumah Tangga. Mendidik dan membesarkan kami berempat, anak-anaknya. Setiap ucapannya selalu memotivasi kami. Selelah apapun pekerjaan rumah, ibuku tak pernah mengeluh. Senyuman ikhlas selalu menghiasi wajahnya.

Subuh itu, tak seperti biasanya, air mata Ibu berlinang. Tatapan matanya kosong putus asa.

“Bu, lagi apa?”

“Eh, teteh sudah bangun? Ibu lagi mikir, kita harus gimana, ya," jawab ibu yang tak biasanya gundah.

Krisis ekonomi di tahun 2000-an memang benar-benar memporakporandakan ekonomi negara. Termasuk perekonomian keluargaku. Malam itu, bapakku pulang larut. Bapak membawa kabar tak sedap bagi keluarga kami. Ya, perusahaan pembuat pesawat terbang di Bandung merumahkan Bapak untuk sementara waktu.

“Sampai Bapak dipanggil PT IPTN lagi, kita harus hemat,” ucap Bapak menutup perbincangan saat makan malam kami.

Seketika kehidupan kami berubah 180 derajat. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, kami memutar otak agar kami bisa bertahan. Bapak, yang semasa 15 tahun kerjanya di depan komputer sebagai Qualilty Control (QC) dokumen pesawat, menjadi supir angkot dadakan. Ibu, aku, dan adik-adik di rumah membuat gorengan dan es lilin untuk dititipkan ke warung-warung sekitar rumah. Kami malu? Tidak. Ibu selalu mengajarkan supaya kita tak perlu malu melakukan apa pun selama itu benar dan tidak melanggar agama.

Tak bisa kami mungkiri, seminggu pertama kehidupan baru kami terasa sangat berat.

“Yang semangat belajarnya… Jangan lupa awali semua kegiatan dengan doa. Minta doa ke Alloh agar Teteh, Aa, Ndi, sama Upi jadi orang sukses. Sukses dunia dan akhirat. Jadi dokter, jadi guru, dan jadi insinyur. Aamiin….”  ucap ibuku setiap kami pergi sekolah.

Sepulang sekolah, kuganti seragam merah putihku dengan kaos oblong ungu. Aku dan adikku siap melinting es lilin untuk dimasukkan ke freezer. Sore hari, sepulang sekolah agama kami mampir ke warung-warung untuk mengambil termos es lilin yang kami titipkan sebelum pergi sekolah. Betapa bahagianya kami jika termos itu kosong. Semua es lilin terjual. Sedih kadang ketika kami membawa pulang termos yang masih berisi es lilin.

“Adam yang bawa tiga termosnya ya, teteh dua. Soalnya uangnya bisi jatoh,” ucapku pada adik lelakiku.

Es lilin yang kami pilin menjadi saksi betapa tegar Ibu menguatkan kami. Semangat Ibu membakar hati kami untuk mengejar cita-cita. Keringat Ibu membasahi langkah kami untuk selalu melakukan yang terbaik. Doa- doa yang keluar dari mulut Ibu menjadi pelicin kami mencapai mimpi.

“Yakin, Alloh akan memudahkan setiap kebutuhan dan cita-cita kita kalau Alloh sudah sayang kita.” ucap Ibu setiap kali memasukkan es lilin ke freezer. Ucapan itu selalu terngiang di telingaku, setiap kali aku dihadapkan pada kesulitan.

Sudah dua malam tidurku tak nyenyak, terdengar lirih kesakitan Ibu menahan demam tinggi karena kecapean. Setiap kali juga kudapati Ibu menyembunyikan mata sembabnya di hadapanku. Mulutnya tak henti berdoa di atas sajadahnya.

“Ya Alloh, ampuni dosaku dan keluargaku. Mudahkan setiap langkah kami menuju syurgaMu. Mudahkan segala urusan kami di dunia. Jadikan anak-anak kami sukses dunia dan akhirat… Aamiin….”  Lirih suara Ibu dalam doa.

Tak ada kata yang mampu kuucap. Selain linangan air mata membasahi pipi.

“Ya Alloh…. Bukankah Kau akan mengabulkan doa orang-orang yang memohon bantuan kepadaMu? Aku mohon Ya Alloh, sembuhkan Ibu, kembalikan kehidupan kami seperti dulu. Aku janji akan selalu beribadah kepadaMu. Kabulkan doa kami, Ya  Robb …  Aamiin ….” Tangisku dalam doa di salat Tahajudku.

Sepulang sekolah, tak biasanya halaman rumah sepi. Tak kudapati Ndi dan Upi bermain di halaman. Rupanya di dalam rumah pun tak ada.

“Bu…, Pi..., Ndi..., di mana?” seru Adam. Tiba-tiba Ua Heni datang dan menyampaikan berita kalau Ibu pingsan dan dibawa ke rumah sakit oleh Bapak dan adik-adik. Ibu sakit typhus karena kecapean. Ia harus dirawat di rumah sakit.

Hari-hari tanpa Ibu terasa berat bagi kami. Tak ada telur mata sapi dan nasi goreng di sarapan kami. Tak ada doa dan senyuman hangat saat pergi sekolah. Tak ada sambutan hangat sepulang sekolah.

“Ibu…. Semoga Ibu lekas sembuh dan sehat selalu…. Kami rindu kasih sayang dan doamu .…”

Dunia kini terasa kembali cerah. Awan hitam di gerimis tipis kini berganti pelangi. Hari ini Ibu boleh pulang dari rumah sakit. Siang ini juga Bapak mendapat telpon dari perusahaan. Mulai besok Bapak bisa kembali bekerja. Alhamdulillah.

Tak pernah kusangka ternyata ucapan sederhana Ibu adalah doa yang diijabah Alloh hari ini. Ketika kami dewasa, aku menjadi guru PNS di KBB, cita-cita ibuku sebelum menikah dengan Bapak. Adam jadi engineer di Halliburton. Ndi dokter di RSUD Sukabumi. Upi Dokter di Lira Medika Karawang.

Hidup kami yang serba rollercoaster dalam enam minggu itu menjadi mozaik kenangan indah di hidupku. Meski ujian hebat melanda, telaga doa Ibunda tak pernah surut. Membasahi tandus dan kering hati kami. Menyuburkan semangat kami agar tak pernah lelah apalagi menyerah.

Terimakasih Ibu, karena telaga doamu yang tak pernah surut aku bisa mencapai cita-cita dengan mudah. Alloohummagfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa robbayaani soghiiro… aamiin.

Selasa, 02 November 2021

J A N I

Cerpen Lily N. D. Madjid

 



“Jani mau pergi aja!”

BRAKKK!

Jani meninggalkan rumahnya setelah dia membanting pintu. Wajahnya ditekuk. Ya, Jani sedang sangat kesal. Ia kesal pada mama.

“Mama menyebalkan! Pilih kasih!” Gerutunya. Dihentakkan kakinya ke lantai sambil terus berjalan. Dia biarkan saja kaki itu membawanya tanpa tahu akan ke mana.

Akhirnya Jani tiba di tanah lapang. Sepi. Biasanya di sana ramai dengan anak-anak yang bermain. Tapi siang ini sepertinya mereka lebih memilih berada di rumah masing-masing. Wajar saja, cuaca sangat panas. Matahari pun bersinar sangat terik.

Tapi Jani sedang tidak ingin di rumah. Di sana Mama selalu menyuruhnya ini dan itu. Menyuruh mengambilkan popok Juna, mengambilkan botol susu Juna, menyuruhnya agar jangan mengganggu Juna, jangan berisik, Juna sedang tidur, jangan mengganggu mama, dan lain-lain. Pokoknya di rumah menyebalkan.

Sekarang, Jani duduk sambil menggoyang-goyangkan kakinya di bangku taman di tepi tanah lapang. Sebenarnya Jani bingung akan ke mana setelah ini. Teman-teman tak satu pun yang terlihat. Kembali ke rumah? Ih! Jani kan tadi sudah bilang mau pergi saja. Mau minggat, biar saja Mama tahu rasa. Coba, apa Mama bakal sedih kalau kehilangan Jani?

“Jani!”

Satu suara yang sangat Jani kenal memanggil. Jani menoleh. Di tepi jalan, seseorang duduk di atas jok motor sambil melambai. Jani tersenyum lebar. Kekesalannya pada mama sejenak terlupakan.

“Paman!” Serunya sambil berlari ke arah orang itu. Rupanya itu Paman Aril, adik bungsu mama. Paman Aril tersenyum, membantangkan tangannya lebar-lebar menyambut Jani.

“Wah, kesayangan paman kok di sini sendirian? Sedang apa? Pulang yuk.”

“Gak mau! Jani lagi sebal sama mama. Jani gak mau pulang!”

“Lho, kok bisa sebal sama mama?”

Jani pun menceritakan penyebab kekesalannya. Paman Aril tertawa kecil. Ia mengacak-acak rambut Jani dengan gemas.

“Kalau begitu, kita jalan-jalan, yuk,” ajak Paman. Ia membantu Jani naik ke motor. “Pegangan kuat-kuat. Peluk paman.”

Motor yang dikemudikan Paman Aril melaju. Mula-mula menyusuri jalan di tepi tanah lapang, kemudian ke luar gerbang perumahan, menyusuri jalan raya. Jani senang sekali, sudah lama Paman tidak mengajaknya jalan-jalan seperti ini.

Paman Aril adalah paman kesayangan Jani. Dia tinggal dengan nenek, di desa sebelah. Kata Mama, saat ini Paman Aril sedang kuliah. Sebentar lagi akan jadi sarjana. Jani juga ingin jadi sarjana seperti Paman Aril. Pasti keren sekali, 'kan? Lihat saja, Paman Aril juga sangat keren. Dia tidak pernah marah-marah seperti Mama. Paman Aril malah sering membelikan Jani es krim, cokelat, dan kue-kue kesukaan Jani. Paman Aril juga sering mengajak Jani jalan-jalan. Seperti sekarang ini. Ah, pokoknya Jani sayang Paman Aril.

“Kita mau ke mana, Paman?” Seru Jani, mengatasi bisingnya deru kendaraan di jalan. Diketatkannya pelukan di pinggang Paman Aril.

“Putar-putar saja.”

Cukup lama mereka menyusuri jalan raya. Jani senang melihat-lihat segala keramaian di jalan itu. Di dekat sebuah jalan layang, Paman Aril melambatkan laju motornya. Ia menuju ke kolong jembatan layang itu. Ternyata di kolong jalan layang ada sebuah taman. Di dekatnya ada satu area penjual makanan. Paman Aril mengajak Jani ke sana.

Walau berlokasi di kolong jalan layang, tetapi tempat ini nyaman sekali. Sejuk dan bersih. Banyak orang duduk-duduk di sana sambil menikmati makanan yang mereka beli. Paman Aril dan Jani juga memesan makanan. Semangkuk mie ayam ceker pedas untuk Paman Aril, dan bakso telur jumbo tanpa mie kesukaan Jani. Tidak lupa dua gelas air jeruk peras panas untuk mereka berdua.

Saat sedang asyik menghabiskan makanannya, seorang anak lelaki seusia Jani mendekat. Dia memanggul karung besar di punggungnya. Pedagang makanan menunjuk seonggok sampah plastik di sebuah tong besar. Anak lelaki itu mengumpulkan dan memasukkannya ke dalam karung yang ia bawa.

Jani terus makan sambil matanya memperhatikan aktivitas anak lelaki itu. Setelah makanannya habis, Jani mendekatinya. Paman Aril hanya mengawasi saja sambil menyesap air jeruknya pelan-pelan.

“Kamu sedang apa?” Tanya Jani. Bocah lelaki itu tersentak kaget. Menoleh lalu nyengir lebar pada Jani.

“Seperti yang kamu lihat. Mengumpulkan ini.” Anak itu menunjuk ke gundukan sampah plastik yang sebagian besar terdiri dari wadah-wadah bekas air kemasan.

“Memangnya itu untuk apa?”

“Aku jual. Nanti dapat uang.”

“Untuk apa uangnya?”

“Ya untuk apa saja. Bisa untuk beli beras, untuk beli makan. Kadang bapakku juga minta uang dari aku untuk beli rokok.”

“Hah?” Mata Jani terbelalak.

“Iya. Kenapa?”

“Kenapa bapakmu minta uang dari kamu? Kalau aku, papaku yang beri aku dan mama uang.”

“Bapakku 'kan nggak kerja.”

“Kan dia bisa minta sama ibumu. Kenapa minta sama kamu?”

“Emakku sudah meninggal. Kata bapak, emak meninggal gara-gara aku. Dia meninggal sesudah melahirkan aku.” Suara bocah itu terdengar serak. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya yang tiba-tiba saja basah.

Jani termangu. Hatinya jadi ikut sedih melihat air yang menggenang di mata bocah lelaki itu. Dalam hati dia heran dan bertanya-tanya. Apakah benar anak lelaki itu yang menyebabkan kematian emaknya sendiri? Tapi tampang anak itu tidak seperti anak yang jahat.

“Kata mamaku, merokok bisa bikin sakit paru-paru, lho. Kamu jangan mau kalau bapakmu minta uang untuk beli rokok.” Jani berusaha mengalihkan pembicaraan, berharap teman barunya itu tak lagi bersedih.

“Bapakku galak. Kalau aku nggak kasih uang, dia bisa pukul aku.” Bisik anak itu takut-takut.

“Oh?” Mata Jani membelalak. Di rumah, mama memang cukup galak. Tapi mama tidak pernah memukul. Apalagi papa. Malah semua yang Jani inginkan selalu saja dituruti oleh papa, yeah, walau kadang-kadang itu membuat mama marah juga.

“Kadang-kadang aku berpikir ingin ikut emak saja ke surga. Katanya di surga itu enak, nggak ada kesusahan, nggak ada kesedihan, nggak akan ada yang marahin kita. Tapi, setiap aku bangun tidur, masih juga aku ada di sini, di sebelah bapakku yang galak seperti macan.” Kata anak itu. Wajah kumalnya terlihat sayu. Jani memandangnya dengan iba.

Tiba-tiba, seorang lelaki, yang mungkin seusia Paman Aril, datang menghampiri. Badan tegapnya yang berkulit hitam nyaris tertutup tatto. Dia memandang galak ke arah bocah lelaki itu. Jani ketakutan. Bocah lelaki itu juga. Dia gemetaran.

"Bagus!" Sentak lelaki bertatto itu. Suaranya menggelegar. Orang-orang yang sedang makan di sana serentak menoleh. Paman Aril berdiri sambil memandang ke arah Jani. Dia terlihat siaga. "Jadi begini kerjaan Lu? Hah? Ngobrol santai saat Lu seharusnya kerja?"

Lelaki itu menarik tangan si bocah lelaki dengan kasar. Bocah itu tersungkur. Hampir saja dia menabrak gerobak mie ayam. Orang-orang menjerit tertahan. Sebagian hanya dapat memandang dengan tatapan kasihan. Paman Aril mendekat perlahan.

"Elu? Kenapa ganggu dia kerja?" Kali ini dia menuding Jani. Jani gemetar dibentak seperti itu. Dia menoleh ke arah Paman Aril yang sudah mendekat. Mengharap pertolongan.

"Pamaaan ..." rengek Jani. Paman Aril meraih tangan Jani dan berdiri di antara Jani dan lelaki bertatto itu.

"Ada apa ya, Bang?"

"Ooo... Jadi lu bapaknya bocah itu, hah? Tolong lu ajar anak lu ya, gak usah ganggu anak gua. Dia lagi kerja! Ngarti lu?" Maki lelaki itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Paman Aril. Jani khawatir setengah mati, takut orang itu memukul Paman.

"Dia cuma mau berteman dengan anak, Abang. Bukan mau ganggu."

"Kagak perlu! Anak gua kagak pernah gua bolehin main. Dia kudu kerja. Ngarti lu? Sekali lagi gua lihat anak lu deketin anak gua, tahu sendiri akibatnya!"

Paman Aril terlihat akan menimpali ucapan laki-laki itu lagi, tapi dilihatnya Jani begitu ketakutan. Akhirnya paman memilih mengajak Jani menyingkir dari hadapan laki-laki menakutkan itu. Si lelaki menyeringai mengejek, lalu menatap galak ke sekeliling. Kemudian dia mendekati anaknya yang masih ketakutan di dekat gerobak mie ayam.

"Heh! Elu, awas kalo nanti-nanti gua liat lu asyik ngobrol lagi. Bukannya kerja yang bener. Pantes aja makin hari duit yang lu bawa makin sedikit. Rupanya gini kerjaan lu, hah?" Ditempelengnya kepala si bocah. Beberapa perempuan yang ada di sana setengah menjerit.

Air mata Jani sudah bercucuran sejak tadi. Dia sedih dan takut melihat semuanya. Dipeluknya lengan Paman Aril kuat-kuat.

"Paman ... Ayo pergi dari sini." Jani merengek pada pamannya.

Paman Aril menarik nafas dalam. Sebenarnya dia masih berjaga-jaga, ingin menolong bocah lelaki itu jika bapaknya berbuat lebih jauh lagi. Begitu dilihatnya si bocah lelaki kecil pergi mengikuti langkah bapaknya, sambil menyeret-nyeret karung yang sarat berisi, Paman Aril menggandeng lengan Jani meninggalkan tempat itu setelah membayar makanan mereka.

Motor Paman Aril kembali melaju di tengah keramaian jalan. Memasuki gerbang komplek, dan kembali ke bangku taman di tepi tanah lapang. Jani dan Paman Aril turun. Mereka duduk di bangku itu. Jani menyeka sisa basah di matanya.

"Paman," katanya.

"Ya?"

"Menurut Paman, apa yang akan terjadi pada anak lelaki tadi?"

"Paman tidak tahu, Jani. Tapi semoga Allah selalu melindunginya. Semoga bapaknya dilembutkan hatinya," kata Paman Aril, lalu menarik nafas dalam-dalam. Mata Jani basah lagi.

"Aamiin." Jani memejamkan matanya. Benar-benar berharap anak laki-laki tadi tidak diapa-apakan oleh bapaknya yang galak. Berharap bapak anak itu benar-benar bisa berubah menjadi lembut seperti harapan Paman Aril tadi.

Setelah itu, Jani jadi memikirkan mamanya. Tiba-tiba saja Jani menyesal sudah marah-marah pada mama., sudah kesal, sudah merajuk dan berpikiran buruk tentang mama. Padahal, yang Mama minta untuk Jani lakukan tidak seberat yang harus dilakukan anak lelaki tadi, yang entah siapa namanya. Mama hanya meminta Jani menolong mama melakukan hal-hal kecil saja. Ah, Jani sungguh-sungguh menyesal telah bersikap seperti buruk pada Mama. Jani berjanji di dalam hatinya, nanti dia akan meminta maaf pada Mama. Ya, Jani berjanji.

“Paman, kita pulang, yuk.”

“Eh? Katanya lagi sebal sama mama?”

“Sudah, Paman. Jani sudah nggak marah lagi sama mama.” Sahut Jani.

Paman Aril tersenyum. Tidak lama kemudian, Jani sudah duduk di atas motor Paman Aril yang melaju santai menuju arah pulang.

 

 

 

 

*cerpen 'Jani' pernah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen Segurat Cerita dan Serpihan Cermin karya Lily N.D. Madjid/ Lily Nuraini Damayanty, S.Pd

  Praktik Baik : Menjadi Content Creator Bernilai Citra Roska Awaliyah, M.Pd Guru IPA SMPN 3 NGAMPRAH Calon Guru Penggerak Angkatan ...