Cerpen Lily Nuraini Damayanty, S.Pd
Sebut saja dia Ade. Sebab bagiku ia adalah seorang adik lelaki yang aku sayangi, meskipun bukan adik kandungku sendiri. Rumah kami berdekatan, bahkan orang tua kami pun memiliki kedekatan layaknya saudara sesungguhnya. Saking dekatnya, Ade memanggil kedua orang tuaku dengan sebutan Bapak dan Ibu. Sementara, aku menyebut orang tuanya dengan panggilan Bapak dan Mama.
Sebenarnya, dalam keluarganya, tidak
hanya Ade yang dekat denganku. Kakaknya, Ina, juga merupakan kawan
sepermainanku. Namun, ceritaku kali ini akan kufokuskan pada Ade, sebab jalan
hidupnya yang menurutku begitu menarik.
Ade dilahirkan saat Ina berusia
empat tahun. Usiaku sendiri saat itu baru tujuh tahun. Aku dan Ina sama
antusiasnya menyambut kelahiran Ade. Sebab selama ini, kami sama-sama
menginginkan keberadaan seorang adik. Ina sangat beruntung, sebab keinginannya
terkabul. Ia memiliki Ade. Tiga tahun kemudian ia bahkan memiliki seorang adik
lagi, Ira. Sementara aku, harus puas menjadi bungsu dalam keluarga.
Maka tak heran, jika aku sangat
menyayangi Ade. Aku selalu menganggap Ade kecil adalah adikku. Setiap hari aku
datang ke rumahnya hanya untuk menggendong bayi mungil itu. Mama Ina
mengijinkan, dan mengajari aku bagaimana cara melakukannya. Ina bahkan tidak
dibolehkan untuk melakukan itu.
Semakin
hari, Ade tumbuh semakin lucu. Ia adalah bayi montok yang sangat menggemaskan.
Aku masih mengingat bagaimana manisnya saat dia tersenyum. Mulut kecilnya akan
merekah lebar, dan mata sipitnya akan menyisakan garis tipis di wajah.
Setiap
sore, sehabis mandi, aku pasti sudah standbye di rumah Ina. Hanya untuk
menyaksikan Mama Ina memandikan Ade. Bagiku kegiatan itu merupakan sebuah
ritual menarik yang tak boleh aku lewatkan. Aku bahkan sampai hapal urutannya.
Pertama, Mama akan mencampur air panas dan air dingin ke dalam bak mandi bayi,
memasukkan Ade ke dalamnya, lalu memulai prosesi mandi itu dengan menyampo
rambut Ade. Kemudian ia akan membilasnya hingga bersih. Setelah itu dilanjutkan
dengan mengusapkan sabun ke seluruh bagian tubuh Ade, sambil membersihkan dan
memijatnya perlahan. Ade biasanya terlihat begitu menikmati saat-saat itu. Dia
akan tersenyum bahkan mengoceh riang. Mama Ina tidak berhenti mengajaknya
berbicara selama proses memandikan. Dan aku, selalu menyimak dan menikmati
momen-momen itu dengan takjub.
Setelah
proses memandikan, ada proses lain yang juga selalu tak pernah kulewatkan.
Yaitu saat Mama Ina mendandani Ade. Di meja, akan ditata sedemikian rupa;
pakaian, bedak, dan perlengkapan bayi lainnya. Kemudian, Mama akan memulainya
dengan membalurkan minyak telon ke dada, perut, telinga dan ubun-ubun Ade.
Disusul dengan bedak. Setelah itu, memasangkan baju dan celana Ade. Membedaki
wajahnya. Menyisir rambutnya. Terakhir, menyemprotkan parfum bayi yang segar ke
tubuh kecil itu.
Jika
sudah selesai seperti itu, maka biasanya Mama Ina akan menyerahkan Ade
kepadaku. Aku akan mengajaknya bermain di rumahku, atau sekedar berjalan-jalan.
Saat usia Ade sudah lebih besar, tidak jarang aku dan Papa mengajaknya bersepeda. Itu berlangsung sampai
Ade besar. Tidak heran jika Ade juga begitu dekat dengan papaku. Saat beliau
berpulang beberapa tahun kemudian, Ade merasa sama kehilangannya dengan
denganku.
***
Aku
cenderung tumbuh sebagai gadis yang tomboy. Walaupun aku menyukai permainan
anak perempuan, aku juga suka sekali
memainkan permainan anak laki-laki. Bisa ditebak, dengan siapa aku memainkan
permainan-permainan itu ‘kan? Ya, benar. Tentu saja dengan Ade.
Aku
sering sekali menghabiskan waktuku bermain bola kaki dengan Ade. Saat Ade
beranjak besar, aku juga mengajaknya bermain catur. Belakangan, dia lebih
sering mengalahkan aku dalam bertanding catur. Padahal, aku yang dulu
mengajarinya. Kami juga sering menghabiskan waktu memancing bersama di kolam
depan rumahku. Dia senang sekali bila kailnya berhasil mendapatkan ikan besar.
Saat
aku SMA—Ade masih SD saat itu—aku suka sekali mendengarkan musik. Aku bahkan
ingin sekali bisa bermain gitar. Dengan uang yang berhasil aku kumpulkan,
kuajak Ade ke toko alat musik. Ternyata Ade juga senang sekali. Jadi kubiarkan
dia yang memilihkan gitar untukku—dengan bantuan penjualnya, tentu saja.
Akhirnya pilihan jatuh pada gitar berwarna biru metalik. Bukan gitar mahal,
memang, tapi aku dan Ade suka sekali.
Aku
ingat, berhari-hari kami mencoba memainkan gitar itu berdua. Padahal, tidak ada
satu pun dari kami yang mengerti bagaimana caranya. Selain itu, kami juga
menghabiskan waktu berjam-jam untuk membicarakan band-band yang kami sukai saat
itu. Ya, sedekat itu memang kami saat itu. Bahkan dengan kakak lelakiku, aku
tidak seperti itu.
Kebersamaanku
dengan Ade terhenti saat aku meninggalkan kota kami untuk kuliah di Bandung.
Kesibukan kuliah membuatku jarang berkomunikasi dengan Ade. Sesekali saat aku
pulang, kami masih menghabiskan waktu bersama. Namun, seiring berjalannya
waktu, Ade pun memiliki kegiatan dengan teman-temannya. Saat itu, Ade sudah
duduk di bangku SMP.
***
Di
tahun-tahun terakhir aku di Bandung, beberapa kali kudengar kabar kurang
menyenangkan tentang Ade. Bahkan beberapa kali Mama Ina memintaku untuk bicara
dengan Ade. Menasihati Ade, tepatnya. Karena kini Ade berubah. Perangainya
menjadi lebih keras. ia sering marah dan memaksakan keinginannya pada Mama Ina.
Kemudian
aku tahu, bahwa di keluarga Mama Ina ada terjadi masalah. Kupikir, salah satu
penyebab dari berubahnya sifat Ade, tidak lepas dari masalah tersebut. Mungkin
Ade marah pada keadaan. Pelariannya, ya dengan menjadi seperti saat itu.
Ditambah dengan pergaulan juga, mungkin. Ya, dia yang saat itu membentuk grup
band bersama teman-temannya, sepertinya terbawa pergaulan yang kurang baik.
Aku
tentu saja bersedih dengan keadaan itu. Namun, kesempatan untuk bicara dengan
Ade begitu sulit. Apalagi, setelah lulus kuliah aku pindah ke kota lain,
bekerja di sana, dan hanya pulang satu minggu sekali ke rumah. Itu pun jarang
sekali bisa berjumpa dengan Ade.
Satu
tahun kemudian aku bahkan merantau ke luar pulau. Menghabiskan masa sepuluh
tahun di rantau orang. Semakin jaranglah aku bertemu dengan adikku. Walaupun
kabar tentangnya masih selalu kudengar.
Berbagai
masalah datang menguji keluarga Ade. Terakhir, kudengar Ade begitu kecewa
karena suatu hal. Kekecewaan itu, ditambah dengan ujian-ujian lain yang menimpa
keluarga Ade—yang tak mungkin aku ceritakan di sini. Dan itu membuatku merasa
begitu khawatir. Namun, apalah daya, aku hanya mampu mendoakan dari jauh.
Mendoakan kebaikan-kebaikan untuk Ade dan keluarganya.
***
Allah
hanya akan menguji seseorang sesuai dengan batas kemampuannya. Kalimat tersebut
menurutku benar adanya. Aku menyaksikan,
bagaimana Ade, berhasil melalui semua ujian yang menghampirinya. Menurut cerita
ibuku, Ade telah mengalami sebuah pengalaman spiritual yang membuatnya berubah.
Berubah menjadi jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya.
Tidak
ada lagi Ade yang keras. Tidak ada lagi Ade yang dulu sering membuat Mama Ina
berkeluh kesah bahkan menangis di dekat ibuku. Aku bahkan melihat sendiri
bagaimana Ade kini. Begitu santun. Begitu penyayang, Bahkan sikapnya begitu
lembut kepada orang-orang yang dulu telah mengecewakannya.
Ade
telah berhasil hijrah. Dia bahkan meninggalkan semuanya. Meninggalkan band-nya.
Meninggalkan pekerjaan lamanya dan memulai usaha yang menurutnya lebih berkah
dan diridhai Allah. Aku melihat dari jauh keteguhannya. Juga bagaimana dia
berusaha menjunjung prinsip hidupnya. Dan, aku tentu saja senang melihatnya.
Aku bahkan merasa, betapa aku belum mampu untuk dapat seperti Ade saat ini.
Aku
hanya mampu mendoakan agar Ade senantiasa istiqomah. Juga agar aku pun bisa
seperti Ade. Menjadi lebih baik dari hari ke hari. Bukankah akan termasuk
orang-orang yang merugi, jika kita tidak menjadikan diri kita lebih baik dari
hari kemarin? Dan aku sungguh tidak menginginkan, berada dalam kumpulan
orang-orang yang merugi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar