Cerpen Rahayu Purwaningsih, S.Pd
Kakek
Ghazali melangkah terbungkuk-bungkuk. Ia mengenakan sarung tangan. Menghampiri selokan di depan
pagar. Sebuah cangkul kecil dan sapu lidi berada dalam genggaman tangannya.
“Mau
ke mana, Kek?” Tiba-tiba saja Bima, anak laki-laki tetangga Kakek Ghazali menghampiri. Peluh menetesi dahinya.
Kakek
Ghazali menyipitkan matanya yang rabun berkabut. Ia mengamati orang yang baru
saja menyapanya. Maklumlah, dengan pengelihatan yang rabun seperti itu, Kakek
Ghazali agak sulit mengenali.
“Bima?”
“Iya,
Kek. Ini Bima. Kakek mau ke mana?”
“Oooo,
ini Bim. Kakek mau bersihkan sampah di selokan. Biasanya tiga hari sekali kakek
bersihkan, agar aliran air tidak tersumbat dan berbalik ke pipa pembuangan air
kakek. Bikin banjir kamar mandi.”
“Oooo…”
sahut Bima. Dia hanya memperhatikan saja saat Kakek Ghazali mendekati saluran
air di depan pagar rumahnya.
“Lho?”
Suara Kakek Ghazali terdengar terkejut.
“Ada
apa, Kek?”
“I—ini.
Ini—” Kakek menunjuk saluran air yang bersih. Tumpukkan sampah bercampur lumpur
teronggok di bak sampah. “Kok saluran airnya sudah bersih ya? Siapa yang
membersihkan?” Kakek Ghazali terlihat bergumam kebingungan.
Bima
mendekati Kakek Ghazali. Melongok ke arah saluran air yang memang sudah bersih.
“Mungkin
dibersihkan petugas, Kek.” Bima tersenyum. Kakek Ghazali hanya
mengangguk-angguk.
***
“Bimaaaa!
Kenapa celanamu kotor dan bau got begini?” Ibu berseru kesal saat akan
memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Pakaian Bima bau sekali. Juga sangat
kotor, penuh dengan noda hitam lumpur.
Bima
menghampiri Ibu sambil tersipu malu.
“Maaf,
Bu.”
“Jelaskan
pada Ibu.”
“Itu,
Bu. Tadi—tadi Bima membersihkan saluran air di depan rumah Kakek Ghazali.
Kasihan, Bu. Musim hujan begini, saluran airnya sering meluap karena banyak
sampah yang menyumbat. Jadi Bima bersihkan….”
Ibu
menatap Bima tak percaya. Ibu bangga, sebab Bima rela mengotori diriny demi
membantu orang tua seperti Kakek Ghazali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar