Minggu, 21 November 2021

WARISAN IBU

 

Cerpen Yeni Suryani


 

 

Angin yang berhembus halus itu dengan lembutnya menyibak rambut putih yang menutupi seraut wajah yang sudah menampakkan keriputnya. Pancaran matanya yang sayu sedang asyik memandangi dua malaikat kecil yang sedang bermain di balik jendela. Senyum simpul sesekali terlihat di bibirnya yang mungil.

“Qillaaa hati-hati mainnya awas jatuh...” teriak wanita itu dengan penuh rasa khawatir.

Mendengar teriakan itu sontak saja tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke masa lalu tepatnya ke masa kecilku di mana aku sering mendengarkan teriakan itu. Teriakan yang tidak akan pernah aku lupa.  Sebuah teriakan yang keluar dari mulut seorang wanita yang begitu mengkhawatirkan anaknya. Beliau begitu bercahaya bagaikan seorang malaikat pelindung.

Sosok wanita yang menjadi malaikat pelindungku itu kupanggil Amih. Panggilan kesayangan untuk ibuku tersayang. Masa kecilku sangat jauh berbeda dengan keadaan yang dirasakan oleh anak-anakku sekarang ini. Dulu keadaan keluargaku serba terbatas banyak hal yang membatasi gerak langkahku dalam mengejar cita-cita, tapi semuanya berasa indah bagiku. Walaupun banyak kesedihan yang mewarnai masa kecilku tapi selalu ada seorang Amih yang selalu berusaha menguatkan aku.

Sabar. Itulah salah satu sifat yang membuat Amih terlihat begitu istimewa bagiku. Dari kecil beliau selalu mengajarkan anak-anaknya untuk selalu bersabar. Aku adalah anak ke tiga dari empat bersaudara. Kami tumbuh bersama di dalam lingkungan keluarga yang sangat sederhana.

Ayahku adalah seorang pemborong bangunan. Beliau bekerja di sebuah proyek pembangunan jembatan dan pembangunan tempat perusahaan lainnya. Upah ayahku lumayan besar ketika beliau mendapatkan proyek dari bosnya, tapi ketika proyeknya selesai, biasanya ayahku kembali menganggur. Terkadang cukup lama. Di situasi seperti inilah kesabaran ibuku diuji. Walaupun waktu itu aku masih duduk di bangku smp tapi aku sudah bisa merasakan beban yang dipikul oleh ibuku.

Ayahku menganggur di saat semua anaknya masih duduk di bangku sekolah. Setiap hari ibuku harus memutar otak mengatur keuangan untuk biaya sekolah kami. Setiap hari menjelang pagi di mana kami semua bersiap untuk pergi ke sekolah, aku selalu melihat raut wajah Amih yang kebingungan membagi uang untuk bekal sekolah kami. Dengan semampunya beliau membagi uang yang pas-pasan. Terkadang tidak cukup untuk bekal kami berempat.

“Sabar ya, Nak. Amih cuman bisa ngasih bekal buat ongkos angkot aja sama uang jajan yang hanya cukup buat beli gorengan saja. Nanti Amih tambahin ya kalau ayah sudah kerja lagi. Kalian harus belajar yang rajin supaya pintar dan sekolah yang tinggi. Biar jadi orang sukses tidak seperti ayah dan ibumu ini yang hanya lulusan Sd.”

            Kata-kata itulah yang tertanam di hati dan tidak akan pernah aku lupa. Kata-kata yang selalu menguatkan tekadku untuk terus berusaha dan belajar, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Amih mendidik kami untuk selalu mandiri. Selalu mengerjakan semua tugas sendiri baik tugas rumah ataupun tugas sekolah.

Kami semua sudah terbiasa mengerjakan tugas kami masing-masing dari mulai mencuci baju, mencuci piring dan nyetrika baju. Itu semua kami kerjakan masing-masing. Terkadang aku menganggap  sikap Amih yang seperti ini adalah suatu bentuk sikap yang jahat karena membiarkan anak-anaknya melakukan kewajibannya masing-masing setiap hari.

Di samping itu Amih adalah sosok yang sangat tegas, tepatnya galak. Apalagi sama anak perempuannya yaitu aku dan kakakku yang nomor satu. Amih sangat over protective.  Setiap kegiatan kami tidak pernah luput dari pengawasannya. Setiap kami pulang telat dari sekolah beliau sudah siap berjaga di depan jalan dengan raut wajah seperti macan mau menerkam mangsanya. Apalagi kalau urusan teman laki-laki tidak ada yang boleh datang ke rumah tanpa seijin beliau. 

Waktu terus berlalu. Sekarang tanpa disadari aku sudah berkeluarga. Aku sudah menikah dan dikaruniai empat orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Semua keadaan berbalik aku mulai mengalami dan merasakan semua perasaan yang dulu Amih rasakan ketika mengurusku waktu kecil. Anak-anakku mulai beranjak dewasa. Anak sulungku sudah duduk di bangku SMA. Anak keduaku sekarang menginjak bangku terakhir di SMP. Dan anakku yang ketiga juga sudah mulai memasuki bangku sekolah dasar. Sedangkan si bungsu pun sudah mulai memasuki usia aktif.

Setiap hari aku menghabiskan waktu di sekolah untuk mengajar, dan pulang kerumah dengan kondisi badan yang lelah. Melihat keadaan rumah yang berantakan karena aku tinggal bekerja, rasanya hati ini ingin teriak. Padahal ada dua orang gadis di rumah, tapi tidak satu orang pun dari mereka yang tergerak hatinya untuk membantu membereskan rumah. Di situlah aku mulai sadar mungkin aku terlalu memanjakan mereka sehingga mereka belum bisa mandiri, situasi ini menyadarkan aku ternyata didikan Amih yang menuntut anak-anaknya untuk mandiri itu memang sangat penting dan  harus diterapkan dari sejak anak masih kecil. Dan aku baru mengerti kenapa  Amih begitu keras menjadikan kami anak-anaknya menjadi anak-anak yang mandiri.

Waktu sudah menunjukan pukul lima sore waktu itu, dan aku sudah berada dirumah. Namun, aku mendapati anak sulungku belum pulang kerumah. Kabar terakhir yang aku terima dia meminta ijin mau ikut kegiatan kerja kelompok di rumah temannya. Hari sudah menjelang maghrib tapi dia tak kunjung pulang. Aku sudah berusaha berulangkali menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban, dan ponselnya dalam keadaan tidak aktif.

Seketika muncul perasaan khawatir dan waswas yang teramat sangat. Aku sudah berusaha juga menghubungi semua teman-temannya tapi tidak ada yang tahu dimana keberadaan anakku. Suara adzan maghrib pun tiba dan menambah suasana menjadi tegang karena suasana hari sudah semakin gelap.

“Akhirnya kamu merasakan apa yang Amih rasakan dulu ketika kamu pulang sekolah telat. Masih mending sekarang sudah ada ponsel yang bisa dihubungi. Waktu dulu Amih lebih bingung mau cari kamu kemana.”

Seketika lututku lemas dan badanku gemetaran mendengar perkataan Amih itu. Dulu dengan santainya aku tenang bermain dengan teman sampai sore tanpa memperdulikan perasaan Amih. Sekarang ternyata aku merasakan apa yang Amih rasakan dulu, ketika aku telat pulang sekolah. Rasa khawatir yang besar karena takut terjadi apa-apa dengan anakku.

Tiba-tiba terdengar suara seseorang membuka pintu. Ternyata anakku yang datang. Tanpa pikir panjang aku langsung memakinya dengan perasaan kesal, karena dia sama sekali tidak memberi kabar, tanpa aku tanya alasannya. Seketika itu anakku langsung menangis dan meminta maaf dia tidak memberi kabar karena ponselnya kehabisan baterai dan dia lupa tidak membawa charger. Akhirnya akupun memeluknya dan menjelaskan kalau mamahnya ini sangat khawatir.

            Semua kejadian yang terjadi di dalam hidupku ini telah menyadarkanku akan semua sikap dan didikan yang diwariskan oleh ibuku dari sejak aku kecil. Ternyata memang benar adanya seorang sosok malaikat pelindung itu. Begitu banyak pelajaran yang berharga yang aku dapat darimu Amih. Baru sekaranglah aku sadar sikap tegasmu bahkan cenderung galak itu adalah bentuk kasih sayang yang engkau berikan untuk anak-anakmu. Semoga aku bisa menjadi sepertimu. Semoga aku dapat mewarisi semua sifat muliamu. Terimakasih ibuku sayang, yang akan selalu menjadi malaikat pelindungku sampai akhir hayatmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Praktik Baik : Menjadi Content Creator Bernilai Citra Roska Awaliyah, M.Pd Guru IPA SMPN 3 NGAMPRAH Calon Guru Penggerak Angkatan ...