Cerpen Yeni Suryani
Angin
yang berhembus halus itu dengan lembutnya menyibak rambut putih yang menutupi
seraut wajah yang sudah menampakkan keriputnya. Pancaran matanya yang sayu
sedang asyik memandangi dua malaikat kecil yang sedang bermain di balik jendela.
Senyum simpul sesekali terlihat di bibirnya yang mungil.
“Qillaaa
hati-hati mainnya awas jatuh...” teriak wanita itu dengan penuh rasa khawatir.
Mendengar
teriakan itu sontak saja tiba-tiba pikiranku melayang jauh ke masa lalu
tepatnya ke masa kecilku di mana aku sering mendengarkan teriakan itu. Teriakan
yang tidak akan pernah aku lupa. Sebuah
teriakan yang keluar dari mulut seorang wanita yang begitu mengkhawatirkan
anaknya. Beliau begitu bercahaya bagaikan seorang malaikat pelindung.
Sosok
wanita yang menjadi malaikat pelindungku itu kupanggil Amih. Panggilan
kesayangan untuk ibuku tersayang. Masa kecilku sangat jauh berbeda dengan
keadaan yang dirasakan oleh anak-anakku sekarang ini. Dulu keadaan keluargaku
serba terbatas banyak hal yang membatasi gerak langkahku dalam mengejar
cita-cita, tapi semuanya berasa indah bagiku. Walaupun banyak kesedihan yang
mewarnai masa kecilku tapi selalu ada seorang Amih yang selalu berusaha
menguatkan aku.
Sabar.
Itulah salah satu sifat yang membuat Amih terlihat begitu istimewa bagiku. Dari
kecil beliau selalu mengajarkan anak-anaknya untuk selalu bersabar. Aku adalah
anak ke tiga dari empat bersaudara. Kami tumbuh bersama di dalam lingkungan
keluarga yang sangat sederhana.
Ayahku
adalah seorang pemborong bangunan. Beliau bekerja di sebuah proyek pembangunan
jembatan dan pembangunan tempat perusahaan lainnya. Upah ayahku lumayan besar
ketika beliau mendapatkan proyek dari bosnya, tapi ketika proyeknya selesai,
biasanya ayahku kembali menganggur. Terkadang cukup lama. Di situasi seperti inilah
kesabaran ibuku diuji. Walaupun waktu itu aku masih duduk di bangku smp tapi
aku sudah bisa merasakan beban yang dipikul oleh ibuku.
Ayahku
menganggur di saat semua anaknya masih duduk di bangku sekolah. Setiap hari
ibuku harus memutar otak mengatur keuangan untuk biaya sekolah kami. Setiap
hari menjelang pagi di mana kami semua bersiap untuk pergi ke sekolah, aku
selalu melihat raut wajah Amih yang kebingungan membagi uang untuk bekal
sekolah kami. Dengan semampunya beliau membagi uang yang pas-pasan. Terkadang
tidak cukup untuk bekal kami berempat.
“Sabar
ya, Nak. Amih cuman bisa ngasih bekal buat ongkos angkot aja sama uang jajan
yang hanya cukup buat beli gorengan saja. Nanti Amih tambahin ya kalau ayah
sudah kerja lagi. Kalian harus belajar yang rajin supaya pintar dan sekolah
yang tinggi. Biar jadi orang sukses tidak seperti ayah dan ibumu ini yang hanya
lulusan Sd.”
Kata-kata itulah yang tertanam di hati
dan tidak akan pernah aku lupa. Kata-kata yang selalu menguatkan tekadku untuk
terus berusaha dan belajar, walaupun dengan segala keterbatasan yang ada. Amih
mendidik kami untuk selalu mandiri. Selalu mengerjakan semua tugas sendiri baik
tugas rumah ataupun tugas sekolah.
Kami
semua sudah terbiasa mengerjakan tugas kami masing-masing dari mulai mencuci
baju, mencuci piring dan nyetrika baju. Itu semua kami kerjakan masing-masing. Terkadang
aku menganggap sikap Amih yang seperti
ini adalah suatu bentuk sikap yang jahat karena membiarkan anak-anaknya
melakukan kewajibannya masing-masing setiap hari.
Di
samping itu Amih adalah sosok yang sangat tegas, tepatnya galak. Apalagi sama
anak perempuannya yaitu aku dan kakakku yang nomor satu. Amih sangat over
protective. Setiap kegiatan kami
tidak pernah luput dari pengawasannya. Setiap kami pulang telat dari sekolah
beliau sudah siap berjaga di depan jalan dengan raut wajah seperti macan mau
menerkam mangsanya. Apalagi kalau urusan teman laki-laki tidak ada yang boleh
datang ke rumah tanpa seijin beliau.
Waktu
terus berlalu. Sekarang tanpa disadari aku sudah berkeluarga. Aku sudah menikah
dan dikaruniai empat orang anak, tiga perempuan dan satu laki-laki. Semua
keadaan berbalik aku mulai mengalami dan merasakan semua perasaan yang dulu
Amih rasakan ketika mengurusku waktu kecil. Anak-anakku mulai beranjak dewasa. Anak
sulungku sudah duduk di bangku SMA. Anak keduaku sekarang menginjak bangku
terakhir di SMP. Dan anakku yang ketiga juga sudah mulai memasuki bangku
sekolah dasar. Sedangkan si bungsu pun sudah mulai memasuki usia aktif.
Setiap
hari aku menghabiskan waktu di sekolah untuk mengajar, dan pulang kerumah
dengan kondisi badan yang lelah. Melihat keadaan rumah yang berantakan karena
aku tinggal bekerja, rasanya hati ini ingin teriak. Padahal ada dua orang gadis
di rumah, tapi tidak satu orang pun dari mereka yang tergerak hatinya untuk
membantu membereskan rumah. Di situlah aku mulai sadar mungkin aku terlalu
memanjakan mereka sehingga mereka belum bisa mandiri, situasi ini menyadarkan
aku ternyata didikan Amih yang menuntut anak-anaknya untuk mandiri itu memang
sangat penting dan harus diterapkan dari
sejak anak masih kecil. Dan aku baru mengerti kenapa Amih begitu keras menjadikan kami
anak-anaknya menjadi anak-anak yang mandiri.
Waktu
sudah menunjukan pukul lima sore waktu itu, dan aku sudah berada dirumah.
Namun, aku mendapati anak sulungku belum pulang kerumah. Kabar terakhir yang
aku terima dia meminta ijin mau ikut kegiatan kerja kelompok di rumah temannya.
Hari sudah menjelang maghrib tapi dia tak kunjung pulang. Aku sudah berusaha
berulangkali menghubungi ponselnya tapi tidak ada jawaban, dan ponselnya dalam
keadaan tidak aktif.
Seketika
muncul perasaan khawatir dan waswas yang teramat sangat. Aku sudah berusaha
juga menghubungi semua teman-temannya tapi tidak ada yang tahu dimana keberadaan
anakku. Suara adzan maghrib pun tiba dan menambah suasana menjadi tegang karena
suasana hari sudah semakin gelap.
“Akhirnya
kamu merasakan apa yang Amih rasakan dulu ketika kamu pulang sekolah telat. Masih
mending sekarang sudah ada ponsel yang bisa dihubungi. Waktu dulu Amih lebih
bingung mau cari kamu kemana.”
Seketika
lututku lemas dan badanku gemetaran mendengar perkataan Amih itu. Dulu dengan
santainya aku tenang bermain dengan teman sampai sore tanpa memperdulikan
perasaan Amih. Sekarang ternyata aku merasakan apa yang Amih rasakan dulu, ketika
aku telat pulang sekolah. Rasa khawatir yang besar karena takut terjadi apa-apa
dengan anakku.
Tiba-tiba
terdengar suara seseorang membuka pintu. Ternyata anakku yang datang. Tanpa
pikir panjang aku langsung memakinya dengan perasaan kesal, karena dia sama
sekali tidak memberi kabar, tanpa aku tanya alasannya. Seketika itu anakku
langsung menangis dan meminta maaf dia tidak memberi kabar karena ponselnya
kehabisan baterai dan dia lupa tidak membawa charger. Akhirnya akupun memeluknya
dan menjelaskan kalau mamahnya ini sangat khawatir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar