Minggu, 21 November 2021

TELAGA DO'A IBUNDA

 Cerpen Citra Roska Awaliyah M.Pd


Ibuku, sosok wanita sholehah, cerdas, kreatif dan tangguh. Betapa tidak, ijazah PGA (Pendidikan Guru Agama) disimpannya dalam lemari, demi menyandang gelar Ibu Rumah Tangga. Mendidik dan membesarkan kami berempat, anak-anaknya. Setiap ucapannya selalu memotivasi kami. Selelah apapun pekerjaan rumah, ibuku tak pernah mengeluh. Senyuman ikhlas selalu menghiasi wajahnya.

Subuh itu, tak seperti biasanya, air mata Ibu berlinang. Tatapan matanya kosong putus asa.

“Bu, lagi apa?”

“Eh, teteh sudah bangun? Ibu lagi mikir, kita harus gimana, ya," jawab ibu yang tak biasanya gundah.

Krisis ekonomi di tahun 2000-an memang benar-benar memporakporandakan ekonomi negara. Termasuk perekonomian keluargaku. Malam itu, bapakku pulang larut. Bapak membawa kabar tak sedap bagi keluarga kami. Ya, perusahaan pembuat pesawat terbang di Bandung merumahkan Bapak untuk sementara waktu.

“Sampai Bapak dipanggil PT IPTN lagi, kita harus hemat,” ucap Bapak menutup perbincangan saat makan malam kami.

Seketika kehidupan kami berubah 180 derajat. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, kami memutar otak agar kami bisa bertahan. Bapak, yang semasa 15 tahun kerjanya di depan komputer sebagai Qualilty Control (QC) dokumen pesawat, menjadi supir angkot dadakan. Ibu, aku, dan adik-adik di rumah membuat gorengan dan es lilin untuk dititipkan ke warung-warung sekitar rumah. Kami malu? Tidak. Ibu selalu mengajarkan supaya kita tak perlu malu melakukan apa pun selama itu benar dan tidak melanggar agama.

Tak bisa kami mungkiri, seminggu pertama kehidupan baru kami terasa sangat berat.

“Yang semangat belajarnya… Jangan lupa awali semua kegiatan dengan doa. Minta doa ke Alloh agar Teteh, Aa, Ndi, sama Upi jadi orang sukses. Sukses dunia dan akhirat. Jadi dokter, jadi guru, dan jadi insinyur. Aamiin….”  ucap ibuku setiap kami pergi sekolah.

Sepulang sekolah, kuganti seragam merah putihku dengan kaos oblong ungu. Aku dan adikku siap melinting es lilin untuk dimasukkan ke freezer. Sore hari, sepulang sekolah agama kami mampir ke warung-warung untuk mengambil termos es lilin yang kami titipkan sebelum pergi sekolah. Betapa bahagianya kami jika termos itu kosong. Semua es lilin terjual. Sedih kadang ketika kami membawa pulang termos yang masih berisi es lilin.

“Adam yang bawa tiga termosnya ya, teteh dua. Soalnya uangnya bisi jatoh,” ucapku pada adik lelakiku.

Es lilin yang kami pilin menjadi saksi betapa tegar Ibu menguatkan kami. Semangat Ibu membakar hati kami untuk mengejar cita-cita. Keringat Ibu membasahi langkah kami untuk selalu melakukan yang terbaik. Doa- doa yang keluar dari mulut Ibu menjadi pelicin kami mencapai mimpi.

“Yakin, Alloh akan memudahkan setiap kebutuhan dan cita-cita kita kalau Alloh sudah sayang kita.” ucap Ibu setiap kali memasukkan es lilin ke freezer. Ucapan itu selalu terngiang di telingaku, setiap kali aku dihadapkan pada kesulitan.

Sudah dua malam tidurku tak nyenyak, terdengar lirih kesakitan Ibu menahan demam tinggi karena kecapean. Setiap kali juga kudapati Ibu menyembunyikan mata sembabnya di hadapanku. Mulutnya tak henti berdoa di atas sajadahnya.

“Ya Alloh, ampuni dosaku dan keluargaku. Mudahkan setiap langkah kami menuju syurgaMu. Mudahkan segala urusan kami di dunia. Jadikan anak-anak kami sukses dunia dan akhirat… Aamiin….”  Lirih suara Ibu dalam doa.

Tak ada kata yang mampu kuucap. Selain linangan air mata membasahi pipi.

“Ya Alloh…. Bukankah Kau akan mengabulkan doa orang-orang yang memohon bantuan kepadaMu? Aku mohon Ya Alloh, sembuhkan Ibu, kembalikan kehidupan kami seperti dulu. Aku janji akan selalu beribadah kepadaMu. Kabulkan doa kami, Ya  Robb …  Aamiin ….” Tangisku dalam doa di salat Tahajudku.

Sepulang sekolah, tak biasanya halaman rumah sepi. Tak kudapati Ndi dan Upi bermain di halaman. Rupanya di dalam rumah pun tak ada.

“Bu…, Pi..., Ndi..., di mana?” seru Adam. Tiba-tiba Ua Heni datang dan menyampaikan berita kalau Ibu pingsan dan dibawa ke rumah sakit oleh Bapak dan adik-adik. Ibu sakit typhus karena kecapean. Ia harus dirawat di rumah sakit.

Hari-hari tanpa Ibu terasa berat bagi kami. Tak ada telur mata sapi dan nasi goreng di sarapan kami. Tak ada doa dan senyuman hangat saat pergi sekolah. Tak ada sambutan hangat sepulang sekolah.

“Ibu…. Semoga Ibu lekas sembuh dan sehat selalu…. Kami rindu kasih sayang dan doamu .…”

Dunia kini terasa kembali cerah. Awan hitam di gerimis tipis kini berganti pelangi. Hari ini Ibu boleh pulang dari rumah sakit. Siang ini juga Bapak mendapat telpon dari perusahaan. Mulai besok Bapak bisa kembali bekerja. Alhamdulillah.

Tak pernah kusangka ternyata ucapan sederhana Ibu adalah doa yang diijabah Alloh hari ini. Ketika kami dewasa, aku menjadi guru PNS di KBB, cita-cita ibuku sebelum menikah dengan Bapak. Adam jadi engineer di Halliburton. Ndi dokter di RSUD Sukabumi. Upi Dokter di Lira Medika Karawang.

Hidup kami yang serba rollercoaster dalam enam minggu itu menjadi mozaik kenangan indah di hidupku. Meski ujian hebat melanda, telaga doa Ibunda tak pernah surut. Membasahi tandus dan kering hati kami. Menyuburkan semangat kami agar tak pernah lelah apalagi menyerah.

Terimakasih Ibu, karena telaga doamu yang tak pernah surut aku bisa mencapai cita-cita dengan mudah. Alloohummagfirlii waliwaalidayya war hamhumaa kamaa robbayaani soghiiro… aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Praktik Baik : Menjadi Content Creator Bernilai Citra Roska Awaliyah, M.Pd Guru IPA SMPN 3 NGAMPRAH Calon Guru Penggerak Angkatan ...