Cerpen Citra Roska Awaliyah M.Pd

Ibuku,
sosok wanita sholehah, cerdas, kreatif dan tangguh. Betapa tidak, ijazah PGA
(Pendidikan Guru Agama) disimpannya dalam lemari, demi menyandang gelar Ibu Rumah
Tangga. Mendidik dan membesarkan kami berempat, anak-anaknya. Setiap
ucapannya selalu memotivasi kami. Selelah apapun pekerjaan rumah, ibuku tak
pernah mengeluh. Senyuman ikhlas selalu menghiasi wajahnya.
Subuh
itu, tak seperti biasanya, air mata Ibu berlinang. Tatapan matanya kosong putus
asa.
“Bu,
lagi apa?”
“Eh,
teteh sudah bangun? Ibu lagi mikir, kita harus gimana, ya," jawab
ibu yang tak biasanya gundah.
Krisis
ekonomi di tahun 2000-an memang benar-benar memporakporandakan ekonomi negara.
Termasuk perekonomian keluargaku. Malam itu, bapakku pulang larut. Bapak
membawa kabar tak sedap bagi keluarga kami. Ya, perusahaan pembuat pesawat
terbang di Bandung merumahkan Bapak untuk sementara waktu.
“Sampai
Bapak dipanggil PT IPTN lagi, kita harus hemat,” ucap Bapak menutup
perbincangan saat makan malam kami.
Seketika
kehidupan kami berubah 180 derajat. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk, kami
memutar otak agar kami bisa bertahan. Bapak, yang semasa 15 tahun kerjanya di
depan komputer sebagai Qualilty Control (QC) dokumen pesawat, menjadi
supir angkot dadakan. Ibu, aku, dan adik-adik di rumah membuat gorengan dan es
lilin untuk dititipkan ke warung-warung sekitar rumah. Kami malu? Tidak. Ibu
selalu mengajarkan supaya kita tak perlu malu melakukan apa pun selama itu benar
dan tidak melanggar agama.
Tak
bisa kami mungkiri, seminggu pertama kehidupan baru kami terasa sangat berat.
“Yang
semangat belajarnya… Jangan lupa awali semua kegiatan dengan doa. Minta doa ke Alloh
agar Teteh, Aa, Ndi, sama Upi jadi orang sukses. Sukses dunia dan akhirat. Jadi
dokter, jadi guru, dan jadi insinyur. Aamiin….” ucap ibuku setiap kami pergi sekolah.
Sepulang
sekolah, kuganti seragam merah putihku dengan kaos oblong ungu. Aku dan adikku siap
melinting es lilin untuk dimasukkan ke freezer. Sore hari, sepulang sekolah
agama kami mampir ke warung-warung untuk mengambil termos es lilin yang kami
titipkan sebelum pergi sekolah. Betapa bahagianya kami jika termos itu kosong.
Semua es lilin terjual. Sedih kadang ketika kami membawa pulang termos yang
masih berisi es lilin.
“Adam
yang bawa tiga termosnya ya, teteh dua. Soalnya uangnya bisi jatoh,”
ucapku pada adik lelakiku.
Es
lilin yang kami pilin menjadi saksi betapa tegar Ibu menguatkan kami. Semangat
Ibu membakar hati kami untuk mengejar cita-cita. Keringat Ibu membasahi langkah
kami untuk selalu melakukan yang terbaik. Doa- doa yang keluar dari mulut Ibu
menjadi pelicin kami mencapai mimpi.
“Yakin,
Alloh akan memudahkan setiap kebutuhan dan cita-cita kita kalau Alloh sudah sayang
kita.” ucap Ibu setiap kali memasukkan es lilin ke freezer. Ucapan itu selalu
terngiang di telingaku, setiap kali aku dihadapkan pada kesulitan.
Sudah
dua malam tidurku tak nyenyak, terdengar lirih kesakitan Ibu menahan demam tinggi
karena kecapean. Setiap kali juga kudapati Ibu menyembunyikan mata sembabnya
di hadapanku. Mulutnya tak henti berdoa di atas sajadahnya.
“Ya
Alloh, ampuni dosaku dan keluargaku. Mudahkan setiap langkah kami menuju syurgaMu.
Mudahkan segala urusan kami di dunia. Jadikan anak-anak kami sukses dunia dan
akhirat… Aamiin….” Lirih suara Ibu dalam
doa.
Tak
ada kata yang mampu kuucap. Selain linangan air mata membasahi pipi.
“Ya
Alloh…. Bukankah Kau akan mengabulkan doa orang-orang yang memohon bantuan
kepadaMu? Aku mohon Ya Alloh, sembuhkan Ibu, kembalikan kehidupan kami seperti dulu.
Aku janji akan selalu beribadah kepadaMu. Kabulkan doa kami, Ya Robb … Aamiin
….” Tangisku dalam doa di salat Tahajudku.
Sepulang
sekolah, tak biasanya halaman rumah sepi. Tak kudapati Ndi dan Upi bermain di
halaman. Rupanya di dalam rumah pun tak ada.
“Bu…,
Pi..., Ndi..., di mana?” seru Adam. Tiba-tiba Ua Heni datang dan menyampaikan berita
kalau Ibu pingsan dan dibawa ke rumah sakit oleh Bapak dan adik-adik. Ibu sakit
typhus karena kecapean. Ia harus dirawat di rumah sakit.
Hari-hari
tanpa Ibu terasa berat bagi kami. Tak ada telur mata sapi dan nasi goreng di
sarapan kami. Tak ada doa dan senyuman hangat saat pergi sekolah. Tak ada sambutan
hangat sepulang sekolah.
“Ibu….
Semoga Ibu lekas sembuh dan sehat selalu…. Kami rindu kasih sayang dan doamu .…”
Dunia
kini terasa kembali cerah. Awan hitam di gerimis tipis kini berganti pelangi.
Hari ini Ibu boleh pulang dari rumah sakit. Siang ini juga Bapak mendapat telpon
dari perusahaan. Mulai besok Bapak bisa kembali bekerja. Alhamdulillah.
Tak
pernah kusangka ternyata ucapan sederhana Ibu adalah doa yang diijabah Alloh hari
ini. Ketika kami dewasa, aku menjadi guru PNS di KBB, cita-cita ibuku sebelum menikah
dengan Bapak. Adam jadi engineer di Halliburton. Ndi dokter di RSUD
Sukabumi. Upi Dokter di Lira Medika Karawang.
Hidup
kami yang serba rollercoaster dalam enam minggu itu menjadi mozaik kenangan
indah di hidupku. Meski ujian hebat melanda, telaga doa Ibunda tak pernah surut.
Membasahi tandus dan kering hati kami. Menyuburkan semangat kami agar tak pernah
lelah apalagi menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar