Cerpen Andri Rahmansah, S.Pd
Kuat. Itulah first impression saat orang mengenal Kemala. Sejak SMP, dia sudah ditinggalkan oleh ayah yang sangat ia cintai. Tanpa sakit atau tanda-tanda lain pada kematian, ayahnya meninggal. Tepat satu hari setelah Idul Fitri. Saat itu, almarhum dalam keadaan sehat wal afiat. Tentu saja hal itu sempat mengagetkannya, keluarga, bahkan tetangganya. Namun demikian, tidak ada yang kebetulan, bahkan saat selembar daun jatuh ke bumi pasti dengan pengawasan-Nya.
“Tuhan lebih sayang ayahku,” pikir Kemala.
Setelah
kematian ayahnya, Kemala kehilangan figur ayah sekaligus teman yang sangat
mencitainya. Bagaimana tidak? Kemala merupakan anak bungsu dari lima bersaudara. Kemala
kecil menjalani hidup seakan tanpa pegangan. Kehilangan role model.
Keempat kakaknya sudah berkeluarga, sudah punya kewajiban masing-masing. Karena
itu pula, dia dibentuk dari keluarga yang cenderung permisif. Satu-satunya
orang yang bisa diajak berkomunikasi adalah umi. Selain itu, bersekolah mampu
mengobati ruang kosong hatinya. Bahkan, saking betahnya di sekolah, tak jarang
Kemala sering pulang sore. Baginya sekolah merupakan rumah kedua. Di sanalah
dia mampu mengaktulisasikan dirinya. Selain itu, kehadiran Umi, panggilan
sayang kepada ibunya menjadi penyemangat dalam hidupnya.
Waktu terus berlalu, hari terus berganti, saat lulus SMP, kebingungan pun melandanya. Karena hasil UN bagus, Kemala berniat melanjutkan ke SMK favorit di Kota Kembang, Bandung. Namun, hal itu urung dilakukan karena pertimbangan keluarga. Keluarga sangat keberatan dengan mempertimbangkan faktor ekonomi, jarak, dan biaya transportasi.
“Takut kandas tengah jalan,” ujar Umi saat itu kepada Kemala.
Yaaah, itulah hidup. Terkadang bukan sesuai yang diinginkan melainkan sesuai yang dijalankan. Akhirnya, dengan legowo Kemala melanjutkan pendidikan di SMK swasta dekat dengan rumahnya. Ternyata, Tuhan bekuasa atas umat-Nya. Di tempat itulah, pintu-pintu kesuksesan sedikit demi sedikit mulai terbuka.
Berbekal
keuletannya dalam dunia akademik, prestasi Kemala mulai diperhitungkan, baik
oleh teman maupun oleh gurunya. Salah satu guru produktif mulai "mencium" potensi dalam diri Kemala. Pak Deden mulai mendekati Kemala dengan caranya.
Meski awalnya risih, Kemala mulai merasakan
pengaruhnya dalam hidupnya. Maklum, Kemala bukan tipe orang yang dengan cepat
menerima nasihat dari orang lain. Perlu waktu, juga mesti bertahap. Berkat
jasanya pula, Kemala mendapat beasiswa
ke salah satu kampus negeri "pabriknya guru". Kemala bersyukur karena orang lain belum
tentu mendapat kesempatan yang sama.
Lagi-lagi
kendala ekonomi menjadi batu kerikil dalam hidupnya. Namun, atas pertolongan
Allah, Kemala sanggup menggenggam pendidikan yang ia impikan walaupun dengan
perjuangan yang amat berat. Saat kuliah, Kemala sudah mulai mengamalkan ilmu
yang dimilikinya dari almamater. Bolak-balik
ngampus dan nguli sudah biasa ia jalani. Kemala sangat
menikmatinya. Hal itu ia lakukan sampai benar-benar dia "sohih" menjadi seorang
guru. Predikat sarjana melekat di belakang namanya.
Saat
PPL, Kemala dikenalkan oleh temannya yang mengikuti kursus kecantikan. Kemala
menyisihkan uang yang dimilikinya untuk mengikuti kursus tersebut. Saat itu, ia
meyakini bahwa selain ilmu yang sedang dipelajari, ia pun harus memiliki
kemampuan lain yang bisa memberikan manfaat, baik bagi dirinya maupun
keluarganya.
Selain koleris, motif internalnya memang kuat karena memang keadaan menuntutnya demikian. Walaupun bukan kuliah pada jurusan yang utama pilihannya, yang sesuai dengan background saat SMK, Kemala selalu istiqomah mencari ilmu.
“Aku harus ahli,” ujarnya dengan penuh keyakinan.
Kemala berhasil membuktikan perjuangannya. Maklum dialah
satu-satunya yang meraih sarjana di keluarganya. Pendidikan yang ia tempuh
dengan tetesan keringat dan air mata mulai mengubah pardigma berpikir di
lingkaran terdekatnya. Oleh karena itu, kadang Kemala menjadi penentu kebijakan
di keluarganya walapun secara empiris dia merupakan anak bungsu.
Setelah lulus, Kemala langsung mengamalkan ilmu yang ia miliki. Selain untuk kehidupan pribadinya, Kemala juga punya Umi yang perlu diperhatikan ekonominya, ditambah dua anak almarhumah kakak perempuan yang tinggal serumah. Keduanya seolah ditinggal oleh ayahnya. Ayahnya tinggal di kota yang sama dengan Kemala, namun tak ada perhatian secara material dan nonmaterial yang diberikan kepada dua anak kandungnya, terlebih setelah sang ayah menikah dengan istri barunya dan memiliki anak dari pernikahan keduanya.
“Ayah anak-anak itu mungkin lupa bahwa di dunia
ini ada mantan istri, tapi tak ada mantan anak. Kelak dia harus bisa
mempertanggungjawabkannya,” ujarnya sambil agak kesal.
Sebetulnya Kemala dan kakak-kakaknya menyarankan agar menyerahkan keponakannya itu ke ayah mereka. Namun, Umi bersikeras agar keduanya ada dalam pengasuhannya meski dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Kemala tidak bisa berbuat banyak, selain menjadikan Umi sebagai pintu surganya. Boleh jadi karena itu pula di saat teman seangkatannya belum tercatat mengikuti diklat PPG Dalam Jabatan, Kemala sudah tercatat sebagai peserta dan berhasil lulus setelah melewati beragam pelatihan dan ujian dengan lancar.
Kemala mengamalkan ilmunya di tempatnya mengabdi dari Senin hingga Jumat. Nah, saat week end biasanya Kemala isi dengan kegiatan merias pengantin. Keterampilan itu tidak dimiliki dengan cuma-cuma. Itu merupakan proses yang menjadi cadangan pengetahuan yang ia peroleh saat PPL tempo lalu. Tak jarang ketika ada job ia harus bangun lebih awal dan langsung menuju ke lokasi sebelum adzan Subuh berkumandang. Dari salary itulah Kemala bisa menghidupi dirinya. Walau tidak mudah, Kemala selalu berjuang menjadikan ibunya sebagai salah satu pintu surganya. Ya, pintu surga yang telah Allah janjikan kepada umat-Nya, terutama bagi orang yang berbakti pada orang tua, semoga!