Cerpen Lily Nuraini Damayanty, S.Pd
Bu Laiyla mengerutkan kening. Ia sedang merekap data
tugas dan kehadiran daring murid-muridnya. Ya, sejak kegiatan belajar berubah
menjadi kegiatan belajar jarak jauh moda daring akibat pandemic corona, Bu
Laiyla harus rutin merekap data tugas dan kehadiran murid-muridnya setiap
bulan.
Aktivitas merekap Bu Laiyla berhenti pada data milik
Rania. Berkali-kali ia menghitung ulang dan mengeceknya. Hasilnya selalu sama; sudah
satu bulan ini Rania tidak hadir dalam kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tugas-tugasnya
pun nihil.
Bu Laiyla menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng
berulang. Mata wanita setengah baya itu menerawang, sementara ingatannya
berkelana ke masa satu bulan ke belakang. Pantas saja, Rania seperti jarang
sekali muncul di WAG kelas. Padahal biasanya, anak perempuan cerdas itu cukup
aktif.
Dibukanya ponsel, mencari-cari sebuah file yang
tersimpan di memori telpon pintarnya. Data siswa luring bulan ini. Diperiksanya
dengan saksama nama-nama yang tercantum di sana. Tidak ada nama Rania. Berarti,
anak itu tidak beralih ke moda luring. Sebagian anak di sekolahnya, yang
memiliki kendala untuk mengikuti kegiatan belajar secara daring, mengikuti
kegiatan PJJ secara luring. Namun Rania? Kemana dia? Kenapa seperti menghilang?
***
Mata
Bu Laiyla menyipit. Ia melambatkan laju roda duanya. Baru saja matanya melihat
satu sosok yang mirip dengan Rania. Berjalan memasuki sebuah gang yang baru
dilaluinya. Motor tua Bu Laiyla menepi. Ia memundurkan benda itu beberapa meter
dari sana. Tepat di mulut gang tempat tadi dia melihat sosok mirip Rania, ia
berhenti.
Sosok itu masih di sana. Berjalan pelan. Satu tangannya
menjinjing container box, sementara tangan lainnya menating talam. Sepertinya
berisi sesuatu untuk dijajakan. Bu Laiyla memandangi sosok yang membelakanginya
itu.
Tak salah lagi, itu memang Rania. Bu Laiyla mengenali
posturnya walau dari belakang. Dilajukan motornya mengejar sosok yang semakin
menjauh itu.
“Rania!” serunya setelah cukup dekat. Gadis kecil
berkerudung merah kusam di depannya menoleh.
Benar itu Rania. Matanya terbelalak, terkejut melihat
gurunya tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
“Bu Laiyla ….” Gumam
Rania. Lalu ia tertunduk. Kakinya bergerak-gerak gelisah.
“Rania? Kamu ….” Kata-kata Bu Laiyla menggantung.
Matanya baralih pada container box, juga
talam yang berisi bermacam penganan kecil. Rania masih menunduk menghindari
tatapan Bu Laiyla. Bu Laiyla tersenyum.
“Rania, coba sini. Ibu mau beli,” kata Bu Laiyla.
Rania mendongak. Menatap Bu Laiyla seperti tidak percaya.
Bu Laiyla menepikan motornya lalu turun mendekat. Rania meletakkan container
box di tepi jalan. Lalu meletakkan talam
di atasnya.
“Silakan, Bu.” Rania menjelaskan apa saja yang dia
jajakan. Wajahnya mulai cerah. Bu Laiyla mengambil penganan berbungkus daun
pisang. Lalu menikmatinya sambil mencoba mengajukan pertanyaan. Laiyla terlihat
tidak sungkan lagi untuk bercerita.
Rupanya sudah satu bulan ini ia harus membantu
keluarganya dengan berjualan. Ayahnya, salah satu orang yang dirumahkan oleh
perusahaan tempatnya bekerja. Dampak pandemi. Sampai saat ini sang ayah hanya
bekerja serabutan. Uang pesangon yang tidak seberapa dijadikan modal oleh sang
ibu. Membuat kue-kue dan menjualnya. Ibu berjualan di rumah, sementara Rania
menjajakan dagangannya berkeliling.
“Lumayan, untuk makan sehari-hari kami tidak perlu
lagi berhutang. Tapi ya, tidak lebih dari itu. Orang sepertinya lebih
berhati-hati untuk membeli makanan yang dijajakan seperti ini. Mereka takut
terpapar virus.” Rania mengeluh. Wajahnya terlihat putus asa.
“Jadi, itu sebabnya kamu tidak ikut PJJ satu bulan
terakhir ini.” Tanya Bu Laiyla lembut. Rania menunduk.
“Mungkin saya … akan berhenti saja, Bu.”
“Hei! Pikirkan dulu sebelum memutuskan. Kamu anak yang
pintar Rania. Jangan sia-siakan itu.”
“Tapi mau bagaimana lagi, Bu? Rania harus membantu
ayah dan ibu. Dengan berjualan seharian saja, kami terkadang masih kekurangan.
Tidak ada waktu untuk mengerjakan tugas-tugas, Bu.”
“Ibu bilang, pikirkan lagi. Jangan sampai kamu
menyesal kelak. Masa depanmu, kamu yang menentukan. Jangan pernah menyerah
dengan keadaan.”
Sejenak Rania terdiam. Menarik napas panjang lalu
mengangguk. “Ya, Bu. Akan Rania pikirkan.”
“Ya sudah. Jadi, berapa semua? Bungkuskan juga Ibu kue
yang itu, itu, dan itu. Itu juga. Masing-masing lima buah. Ini uangnya.”
Rania melayaninya dengan sigap. Dapat Bu Laiyla lihat,
betapa mata Rania bersinar saat menerima uang pembayaran kue. Setelah pamit, ia
berbalik. Sempat didengarnya gumaman Rania.
“Alhamdulillah. Akhirnya laris juga.”
Bu Laiyla mematung sejenak. Hatinya perih. Keadaanlah
yang memaksa semua jadi begini. Dalam hati Bu Laiyla berdoa, semoga ada jalan
keluar bagi Rania. Ia juga bertekad, akan mencari cara agar muridnya itu tidak
sampai putus sekolah. Ah, semoga pandemi segera berlalu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar