Sabtu, 25 September 2021

GADIS KECIL BERKERUDUNG MERAH KUSAM

 

Cerpen Lily Nuraini Damayanty, S.Pd

 


 

Bu Laiyla mengerutkan kening. Ia sedang merekap data tugas dan kehadiran daring murid-muridnya. Ya, sejak kegiatan belajar berubah menjadi kegiatan belajar jarak jauh moda daring akibat pandemic corona, Bu Laiyla harus rutin merekap data tugas dan kehadiran murid-muridnya setiap bulan.

Aktivitas merekap Bu Laiyla berhenti pada data milik Rania. Berkali-kali ia menghitung ulang dan mengeceknya. Hasilnya selalu sama; sudah satu bulan ini Rania tidak hadir dalam kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Tugas-tugasnya pun nihil.

Bu Laiyla menarik napas panjang. Kepalanya menggeleng berulang. Mata wanita setengah baya itu menerawang, sementara ingatannya berkelana ke masa satu bulan ke belakang. Pantas saja, Rania seperti jarang sekali muncul di WAG kelas. Padahal biasanya, anak perempuan cerdas itu cukup aktif.

Dibukanya ponsel, mencari-cari sebuah file yang tersimpan di memori telpon pintarnya. Data siswa luring bulan ini. Diperiksanya dengan saksama nama-nama yang tercantum di sana. Tidak ada nama Rania. Berarti, anak itu tidak beralih ke moda luring. Sebagian anak di sekolahnya, yang memiliki kendala untuk mengikuti kegiatan belajar secara daring, mengikuti kegiatan PJJ secara luring. Namun Rania? Kemana dia? Kenapa seperti menghilang?

***

 

            Mata Bu Laiyla menyipit. Ia melambatkan laju roda duanya. Baru saja matanya melihat satu sosok yang mirip dengan Rania. Berjalan memasuki sebuah gang yang baru dilaluinya. Motor tua Bu Laiyla menepi. Ia memundurkan benda itu beberapa meter dari sana. Tepat di mulut gang tempat tadi dia melihat sosok mirip Rania, ia berhenti.

Sosok itu masih di sana. Berjalan pelan. Satu tangannya menjinjing container box, sementara tangan lainnya menating talam. Sepertinya berisi sesuatu untuk dijajakan. Bu Laiyla memandangi sosok yang membelakanginya itu.

Tak salah lagi, itu memang Rania. Bu Laiyla mengenali posturnya walau dari belakang. Dilajukan motornya mengejar sosok yang semakin menjauh itu.

“Rania!” serunya setelah cukup dekat. Gadis kecil berkerudung merah kusam di depannya menoleh.

Benar itu Rania. Matanya terbelalak, terkejut melihat gurunya tiba-tiba sudah berada di belakangnya.

“Bu Laiyla ….” Gumam  Rania. Lalu ia tertunduk. Kakinya bergerak-gerak gelisah.

“Rania? Kamu ….” Kata-kata Bu Laiyla menggantung. Matanya baralih pada container box,  juga talam yang berisi bermacam penganan kecil. Rania masih menunduk menghindari tatapan Bu Laiyla. Bu Laiyla tersenyum.

“Rania, coba sini. Ibu mau beli,” kata Bu Laiyla.

Rania mendongak. Menatap Bu Laiyla seperti tidak percaya. Bu Laiyla menepikan motornya lalu turun mendekat. Rania meletakkan container box di tepi  jalan. Lalu meletakkan talam di atasnya.

“Silakan, Bu.” Rania menjelaskan apa saja yang dia jajakan. Wajahnya mulai cerah. Bu Laiyla mengambil penganan berbungkus daun pisang. Lalu menikmatinya sambil mencoba mengajukan pertanyaan. Laiyla terlihat tidak sungkan lagi untuk bercerita.

Rupanya sudah satu bulan ini ia harus membantu keluarganya dengan berjualan. Ayahnya, salah satu orang yang dirumahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Dampak pandemi. Sampai saat ini sang ayah hanya bekerja serabutan. Uang pesangon yang tidak seberapa dijadikan modal oleh sang ibu. Membuat kue-kue dan menjualnya. Ibu berjualan di rumah, sementara Rania menjajakan dagangannya berkeliling.

“Lumayan, untuk makan sehari-hari kami tidak perlu lagi berhutang. Tapi ya, tidak lebih dari itu. Orang sepertinya lebih berhati-hati untuk membeli makanan yang dijajakan seperti ini. Mereka takut terpapar virus.” Rania mengeluh. Wajahnya terlihat putus asa.

“Jadi, itu sebabnya kamu tidak ikut PJJ satu bulan terakhir ini.” Tanya Bu Laiyla lembut. Rania menunduk.

“Mungkin saya … akan berhenti saja, Bu.”

“Hei! Pikirkan dulu sebelum memutuskan. Kamu anak yang pintar Rania. Jangan sia-siakan itu.”

“Tapi mau bagaimana lagi, Bu? Rania harus membantu ayah dan ibu. Dengan berjualan seharian saja, kami terkadang masih kekurangan. Tidak ada waktu untuk mengerjakan tugas-tugas, Bu.”

“Ibu bilang, pikirkan lagi. Jangan sampai kamu menyesal kelak. Masa depanmu, kamu yang menentukan. Jangan pernah menyerah dengan keadaan.”

Sejenak Rania terdiam. Menarik napas panjang lalu mengangguk. “Ya, Bu. Akan Rania pikirkan.”

“Ya sudah. Jadi, berapa semua? Bungkuskan juga Ibu kue yang itu, itu, dan itu. Itu juga. Masing-masing lima buah. Ini uangnya.”

Rania melayaninya dengan sigap. Dapat Bu Laiyla lihat, betapa mata Rania bersinar saat menerima uang pembayaran kue. Setelah pamit, ia berbalik. Sempat didengarnya gumaman Rania.

“Alhamdulillah. Akhirnya laris juga.”

Bu Laiyla mematung sejenak. Hatinya perih. Keadaanlah yang memaksa semua jadi begini. Dalam hati Bu Laiyla berdoa, semoga ada jalan keluar bagi Rania. Ia juga bertekad, akan mencari cara agar muridnya itu tidak sampai putus sekolah. Ah, semoga pandemi segera berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

  Praktik Baik : Menjadi Content Creator Bernilai Citra Roska Awaliyah, M.Pd Guru IPA SMPN 3 NGAMPRAH Calon Guru Penggerak Angkatan ...