
Andri
Rahmansah
Virus
itu pun mengubah tatanan kehidupan manusia. Hampir semua aspek kehidupan
terkena dampaknya, tak terkecuali dunia pendidikan. Hampir satu tahun setengah
dunia pendidikan mengandalkan moda daring. Hal ini tentu dilakukan dengan
pertimbangan yang lebih penting, yaitu
menjauhi kemudaratan. Kesehatan dan keselamatan jauh lebih penting. Geliat
pendidikan pun berlomba mencari alternatif yang bisa dilakukan tanpa tatap
muka. Aku pun masih meraba-raba di tengah kondisi seperti ini. Dengan ragam
pertimbangan bahwa tidak semua orang tua sanggup mengikuti moda pembelajaran
daring. Hal itu terkait dengan sarana pendukung, seperti gadget, kuota,
dan tentu jaringan. Tatap muka yang biasa kulakukan di kelas diganti menjadi
tatap layar melalui google meet atau via zoom. Itu pun dilakukan pada
momen tertentu. Misalnya, menjelaskan materi yang belum peserta didik kuasai.
Pembelajaran
daring yang dilakukan hampir selama satu tahun setengah itu bukan tanpa
tantangan. Notif WA hampir selalu bersahutan dengan ragam kendala yang
disampaikan, baik oleh peserta didik maupun orang tuanya. Tantangan dan
rintangan mulai menghantui pelaku pendidikan dari kuota, jaringan, hingga
kejenuhan. Hal yang aku khawatirkan adalah defisit kompetensi. Maklum tak semua
orang tua bisa mengambil peran sebagai guru. Entah karena kurang pendidikan
formal yang dimiliki ihwal pedagogik atau istilah kerennya seni mendidik,
keterbatasan waktu karena mereka pun harus mencari nafkah untuk keluarganya,
hingga memang kadang motif internal peserta didik itu sendiri untuk mencari
ilmu yang belum muncul. Padahal, jauh-jauh hari sebelum pandemi, tokoh
pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa setiap orang
adalah guru dan setiap rumah adalah sekolah. Tampaknya kita memang belum siap.
Di tengah kondisi seperti itu tidak mengubah keyakinanku bahwa fitrah manusia
itu baik. Fa
alhamaha fujuraha wa taqwaha.
Sekitar
pertengahan September 2021 kran pendidikan mulai bergeliat dengan dibukanya
kembali sekolah sebagai wahana pembelajaran. Mulai melandainya orang terpapar
virus corona dan mendesaknya kebutuhan tatap muka sebagai salah satu metode
dalam pendidikan menjadi pertimbangan. Walau dalam kondisi sangat terbatas, hal
itu tentu disambut gembira oleh sebagian besar orang yang bergelut di dunia pendidikan,
baik orang tua, peserta didik, maupun bapak ibu guru.Kerinduan tatap muka siswa
sedikit mulai sedikit mulai terobati. Konon kabarnya, rindu adalah virus dan
bertemu adalah vaksinnya.
Pembelajaran
kali ini tentu berubah 360o. Jika sebelum pandemi siswa bisa
berlama-lama di sekolah, kali ini tak bisa seperti itu. Istilah new normal barangkali
sangat cocok disematkan pada kegiatan itu. Pembelajaran Tatap Muka Terbatas
atau PTMT mulai digaungkan. Pembelajaran itu tentu dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Akuberusaha menerapkan protokol 5M, yaitu Memperbanyak Do'a, Memakai Masker,
Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, dan Memperbanyak Sedekah. Kadang aku kurang
sependapat dengan 3M yang sedang viral; yang hanya menerapkan memakai masker, mencuci
tangan, menjaga jarak.“Doa itu sebagai wujud cinta, sedangkan sedekah itu
penolak bala,” ujarku saat orang bertanya mengapa harus 5M.Sebagai muslim, aku
berjuang melibatkan Allah pada setiap langkahku. Hal itu dilakukan agar
kegiatan yang dijalani bisa diberkahi. Mencari berkahnya. Orang bilang begitu.
Kebaikan yang menetap pada kebaikan. Iya, itulah yang aku dapatkan dari
beberapa literatur ihwal berkah.
Tahun
ini aku mengajar kelas 9 dari 9F hingga 9J. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku
pun diberi tugas tambahan sebagai wali kelas 9I. Allah takdirkan aku menjadi
orang tua mereka saat di sekolah. Meski hanya 2 jam waktu normal di sekolah,
aku berusaha memaksimalkannya tentu sesuai dengan kadar kemampuanku. Nah,
itulah pilihanku karena memang hidup itu di antara takdir dan pilihan. Aku pun
belajar seperti halnya mereka. Belajar memang tak terikat oleh ruang, jarak,
dan waktu. Hal yang paling urgent adalah belajar memahami mereka di
tengah waktu yang sangat terbatas. Mengembalikan marwah mereka sebagai peserta
didik yang tak terjamah. Kondisi pandemi menyadarkan kita bahwa pertemuan yang
tak berjarak adalah salah satu nikmat yang Allah Swt. berikan. Masya allah!
Waktu
yang berlalu mulai membiasakanku pada adaptasi baru. PTMT masih berjalan di
tempat aku mengabdikan diri. Jadwalku jatuh pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu
dengan teknis dalam satu hari aku mengajar di satu kelas dengan dua sesi, yaitu
sesi ke-1 bagi siswa no urut 1 s.d 17 dan sesi ke-2 bagi siswa dengan no urut 18 s.d 32. Itu pun aku akan kembali ke kelas
yang sama dua minggu berikutnya. Selain waktu itu, aku memberi pembelajaran di
google classroom. Tak terasa waktu mulai beranjak pada bulan November. Bulan
ini memang bulan spesial karena di sana ada Hari Guru Nasional yang jatuh pada
tanggal 25. HGN kali memang berbeda mengingat giat seremoni mulai menyapa
secara nyata tanpa tatap layar seperti dua tahun sebelumnya. Alhamdulillah.
Acara
memeriahkan HUT PGRI mulai tampak. sekbid olahraga dan dan seni di sekolahku
mulai menyiapkan atlet guna menyukseskan giat tersebut. Alhamdulillah, atas
pertolongan Allah Swt., kontingen sekolahku mulai unjuk gigi. Mereka
mengharumkan nama sekolah di tingkat kecamatan. Di lingkungan sekolah pun ikut
suka-cita. Sebagian siswa menyiapkan kado terbaik bagi wali kelasnya. Lebih
dari itu, sejatinya kado terbaik yang kami harapkan adalah doa tulus yang
mereka ucapkan bagi kebaikan di dunia dan akhirat.
Sabtu,
27 November 2021 menjadi momen berharga bagi kami. Kejutan berikutnya diberikan
oleh sebagian siswa yang aktif di OSIS, Paskibra, dan ekskul lainnya. Mereka
melakukan perayaan yang tak kami ketahui. Saat itu, sebetulnya sekolah
diliburkan karena kami akan mengadakan rapat untuk menghadapi PKKS (Penilaian
Kinerja Kepala Sekolah). Mereka datang dengan membawa kebahagian semoga saja
ini bukan hanya seremoni tapi juga perekat silaturahmi. Aamiin.
Seperti
Jumat dua minggu sebelumnya, jadwalku adalah di kelas 9I dan 9J. Namun, Jumat
itu menjadi Jumat yang unik dan menggelitik. Jumat pagi, 3 Desember 2021 aku
masuk k kelas 9I dari pukul 08.00 hingga 09.00 WIB. Materi yang dibahas tentang
struktur cerpen yang memuat konflik, yaitu komplikasi. “Dalam cerpen wajib ada
konflik agar lebih seru, sedangkan dalam kehidupan nyata jangan coba-coba
menciptakan konflik. Jangan bermain api,” tandasku. Akhirnya kututup
pembelajaran dengan mengucapkan hamdalah. Aku pun meluncur ke kelas berikutnya,
yaitu 9J. Waktu menunjukkan 10.00 WIB.
Itu tandanya pembelajaran sesi 1 selesai. Siswa diwajibkan meninggalkan sekolah
dan pulang ke rumah masing-masing. Terdapat jeda 30 menit menuju sesi ke-2. Aku
isi dengan menarik nafas setelah mengenakan masker dalam waktu dua jam. Dalam
kondisi seperti aku pun harus menjelaskan materi. Kebayang pengapnya, bukan?
Tapi, no choice. Hanya itu pilihannya. Pandemi belum berakhir dan kita
harus berikhtiar menjauhi kemudharatan.
Waktu
menunjukkan 10.30 WIB. Bel tiga kali memanggil siswa untuk masuk ke kelas dan
bersiap menerima pelajaran. Aku pun beranjak menuju kelas. Di tengah jalan,
pandanganku tertuju pada siswa 9I yang belum meninggalkan sekolah. Hal yang
jarang aku temui. Kelas 9I memang sangat mudah terlihat walau dari kejauhan.
Letaknya di lantai 2 dan berada di sebelah timur setelah gerbang utama sekolah.
Kelas itu menghadap ke arah barat. Di arah sana ada foto presiden beserta
wakilnya dan ada 1 buah papan tulis. Di arah timur dan utara dibatasi oleh
tembok, sedangkan di arah selatan berjejer jendela dan dilengkapi 2 buah daun
pintu. Aku pun melangkahkan kaki ke arah sana walau ada perasaan yang
mengganjal. Kakiku mulai melahap anak tangga dan tiba di teras kelas. Di situ kecurigaanku
mulai terjawab. Saat di teras, tanpa sepengetahuan mereka aku mendengar suara
berisik. “Ada bapak. Ada bapak,” ujar mereka bersahutan. Terdengar pula suara
yang menyuruh agar mereka tidak berbisik. Sssst. Karena jendela ruang kelas tak
menggunakan gorden, aku pun bisa melihat sebagian anak lelaki sedang di jongkok
di area belakang. Sebagian memegangi balon. Aku pun pura-pura tak melihat.
Begitu masuk, aku disambut dengan ucapan “Happy teacher day.” Aku pun
terdiam. “Langsung bunyikan,” ujar salah satu siswa. Namun, confetti tak
mengeluarkan bunyi. Akhirnya aku keluar lagi. “Masuk, Pak!” kata salah satu
siswa. Ternyata confetti tak mengeluarkan bunyi. Di situ aku sebetulnya
ingin tertawa sejadi-jadinya. Alhamdulillah, tertutupi masker. Mereka terlihat
semakin gaduh dan saling menyalahkan satu sama lain. Akhirnya aku pun keluar
lagi memenuhi permintaan mereka. Reka ulang begitula permintaan mereka. Saat
masuk, aku pun menunggu momen confetti mengeluarkan bunyi. Namun, yang
ada hanya suara gaduh yang semakin menjadi-jadi tanda kekecewaan. Karena tidak
bunyi, akhirnya aku terima kue yang telah mereka persiapkan. Walau masih
terlihat rau kecewa, mereka mengajakku berfoto bersama. Aku pun bersedia guna
mengobati kekecewaan mereka.
Seremoni
memang tak bisa dilakukan setiap saat. Namun, saling mendo’akan dalam kebaikan
setiap saat. Do’akan kebaikan agar malaikat mengamiinkan do’a yang sama.
Seremoni perlu dilakukan sesekali, namun hal yang perlu sering dilakukan adaah
silaturahmi. Sejatinya silaturahmi itu menyatukan dengan cinta kasih. Semoga
jalinan silaturahmi yang sempat kita rajut tetap terjaga meski kelak terikat
ruang, jarak, dan waktu. Dengan begitu, semoga kita bisa diluaskan rezeki dan dipanjangkan usia. Aamiin.
Wish
you all the best, 9I tahun ajaran 2021-2022.