Jumat, 10 Desember 2021

Happy Teacher Day


 oleh

Andri Rahmansah


Virus corona mulai melanda Indonesia pada sekitar pertengahan tahun 2019 silam. Ganasnya virus itu menjadi hal yang menakutkan bagi dunia, termasuk Indonesia. Sekitar seratus ribuan orang berpulang menghadap Sang Pencipta. Tenaga medis sebagai garda terdepan pun berguguran. “Tak ada kata yang paling mulia selain berharap mereka dikategorikan sebagai syuhada,” ujarku sembari menghela nafas panjang lalu menghembuskannya. Hufft.

Virus itu pun mengubah tatanan kehidupan manusia. Hampir semua aspek kehidupan terkena dampaknya, tak terkecuali dunia pendidikan. Hampir satu tahun setengah dunia pendidikan mengandalkan moda daring. Hal ini tentu dilakukan dengan pertimbangan yang lebih penting, yaitu  menjauhi kemudaratan. Kesehatan dan keselamatan jauh lebih penting. Geliat pendidikan pun berlomba mencari alternatif yang bisa dilakukan tanpa tatap muka. Aku pun masih meraba-raba di tengah kondisi seperti ini. Dengan ragam pertimbangan bahwa tidak semua orang tua sanggup mengikuti moda pembelajaran daring. Hal itu terkait dengan sarana pendukung, seperti gadget, kuota, dan tentu jaringan. Tatap muka yang biasa kulakukan di kelas diganti menjadi tatap layar melalui google meet atau via zoom. Itu pun dilakukan pada momen tertentu. Misalnya, menjelaskan materi yang belum peserta didik kuasai.

Pembelajaran daring yang dilakukan hampir selama satu tahun setengah itu bukan tanpa tantangan. Notif WA hampir selalu bersahutan dengan ragam kendala yang disampaikan, baik oleh peserta didik maupun orang tuanya. Tantangan dan rintangan mulai menghantui pelaku pendidikan dari kuota, jaringan, hingga kejenuhan. Hal yang aku khawatirkan adalah defisit kompetensi. Maklum tak semua orang tua bisa mengambil peran sebagai guru. Entah karena kurang pendidikan formal yang dimiliki ihwal pedagogik atau istilah kerennya seni mendidik, keterbatasan waktu karena mereka pun harus mencari nafkah untuk keluarganya, hingga memang kadang motif internal peserta didik itu sendiri untuk mencari ilmu yang belum muncul. Padahal, jauh-jauh hari sebelum pandemi, tokoh pendidikan nasional Indonesia, Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa setiap orang adalah guru dan setiap rumah adalah sekolah. Tampaknya kita memang belum siap. Di tengah kondisi seperti itu tidak mengubah keyakinanku bahwa fitrah manusia itu baik. Fa alhamaha fujuraha wa taqwaha.

Sekitar pertengahan September 2021 kran pendidikan mulai bergeliat dengan dibukanya kembali sekolah sebagai wahana pembelajaran. Mulai melandainya orang terpapar virus corona dan mendesaknya kebutuhan tatap muka sebagai salah satu metode dalam pendidikan menjadi pertimbangan. Walau dalam kondisi sangat terbatas, hal itu tentu disambut gembira oleh sebagian besar orang yang bergelut di dunia pendidikan, baik orang tua, peserta didik, maupun bapak ibu guru.Kerinduan tatap muka siswa sedikit mulai sedikit mulai terobati. Konon kabarnya, rindu adalah virus dan bertemu adalah vaksinnya.

Pembelajaran kali ini tentu berubah 360o. Jika sebelum pandemi siswa bisa berlama-lama di sekolah, kali ini tak bisa seperti itu. Istilah new normal barangkali sangat cocok disematkan pada kegiatan itu. Pembelajaran Tatap Muka Terbatas atau PTMT mulai digaungkan. Pembelajaran itu tentu dengan  menerapkan protokol kesehatan yang ketat. Akuberusaha menerapkan protokol 5M, yaitu Memperbanyak Do'a, Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, dan Memperbanyak Sedekah. Kadang aku kurang sependapat dengan 3M yang sedang viral; yang hanya menerapkan memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak.“Doa itu sebagai wujud cinta, sedangkan sedekah itu penolak bala,” ujarku saat orang bertanya mengapa harus 5M.Sebagai muslim, aku berjuang melibatkan Allah pada setiap langkahku. Hal itu dilakukan agar kegiatan yang dijalani bisa diberkahi. Mencari berkahnya. Orang bilang begitu. Kebaikan yang menetap pada kebaikan. Iya, itulah yang aku dapatkan dari beberapa literatur ihwal berkah.

Tahun ini aku mengajar kelas 9 dari 9F hingga 9J. Seperti tahun-tahun sebelumnya, aku pun diberi tugas tambahan sebagai wali kelas 9I. Allah takdirkan aku menjadi orang tua mereka saat di sekolah. Meski hanya 2 jam waktu normal di sekolah, aku berusaha memaksimalkannya tentu sesuai dengan kadar kemampuanku. Nah, itulah pilihanku karena memang hidup itu di antara takdir dan pilihan. Aku pun belajar seperti halnya mereka. Belajar memang tak terikat oleh ruang, jarak, dan waktu. Hal yang paling urgent adalah belajar memahami mereka di tengah waktu yang sangat terbatas. Mengembalikan marwah mereka sebagai peserta didik yang tak terjamah. Kondisi pandemi menyadarkan kita bahwa pertemuan yang tak berjarak adalah salah satu nikmat yang Allah Swt. berikan. Masya allah!

Waktu yang berlalu mulai membiasakanku pada adaptasi baru. PTMT masih berjalan di tempat aku mengabdikan diri. Jadwalku jatuh pada hari Kamis, Jumat, dan Sabtu dengan teknis dalam satu hari aku mengajar di satu kelas dengan dua sesi, yaitu sesi ke-1 bagi siswa no urut 1 s.d 17 dan sesi ke-2 bagi siswa dengan no urut 18  s.d 32. Itu pun aku akan kembali ke kelas yang sama dua minggu berikutnya. Selain waktu itu, aku memberi pembelajaran di google classroom. Tak terasa waktu mulai beranjak pada bulan November. Bulan ini memang bulan spesial karena di sana ada Hari Guru Nasional yang jatuh pada tanggal 25. HGN kali memang berbeda mengingat giat seremoni mulai menyapa secara nyata tanpa tatap layar seperti dua tahun sebelumnya. Alhamdulillah.

Acara memeriahkan HUT PGRI mulai tampak. sekbid olahraga dan dan seni di sekolahku mulai menyiapkan atlet guna menyukseskan giat tersebut. Alhamdulillah, atas pertolongan Allah Swt., kontingen sekolahku mulai unjuk gigi. Mereka mengharumkan nama sekolah di tingkat kecamatan. Di lingkungan sekolah pun ikut suka-cita. Sebagian siswa menyiapkan kado terbaik bagi wali kelasnya. Lebih dari itu, sejatinya kado terbaik yang kami harapkan adalah doa tulus yang mereka ucapkan bagi kebaikan di dunia dan akhirat.

Sabtu, 27 November 2021 menjadi momen berharga bagi kami. Kejutan berikutnya diberikan oleh sebagian siswa yang aktif di OSIS, Paskibra, dan ekskul lainnya. Mereka melakukan perayaan yang tak kami ketahui. Saat itu, sebetulnya sekolah diliburkan karena kami akan mengadakan rapat untuk menghadapi PKKS (Penilaian Kinerja Kepala Sekolah). Mereka datang dengan membawa kebahagian semoga saja ini bukan hanya seremoni tapi juga perekat silaturahmi. Aamiin.

Seperti Jumat dua minggu sebelumnya, jadwalku adalah di kelas 9I dan 9J. Namun, Jumat itu menjadi Jumat yang unik dan menggelitik. Jumat pagi, 3 Desember 2021 aku masuk k kelas 9I dari pukul 08.00 hingga 09.00 WIB. Materi yang dibahas tentang struktur cerpen yang memuat konflik, yaitu komplikasi. “Dalam cerpen wajib ada konflik agar lebih seru, sedangkan dalam kehidupan nyata jangan coba-coba menciptakan konflik. Jangan bermain api,” tandasku. Akhirnya kututup pembelajaran dengan mengucapkan hamdalah. Aku pun meluncur ke kelas berikutnya, yaitu 9J.  Waktu menunjukkan 10.00 WIB. Itu tandanya pembelajaran sesi 1 selesai. Siswa diwajibkan meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah masing-masing. Terdapat jeda 30 menit menuju sesi ke-2. Aku isi dengan menarik nafas setelah mengenakan masker dalam waktu dua jam. Dalam kondisi seperti aku pun harus menjelaskan materi. Kebayang pengapnya, bukan? Tapi, no choice. Hanya itu pilihannya. Pandemi belum berakhir dan kita harus berikhtiar menjauhi kemudharatan.

Waktu menunjukkan 10.30 WIB. Bel tiga kali memanggil siswa untuk masuk ke kelas dan bersiap menerima pelajaran. Aku pun beranjak menuju kelas. Di tengah jalan, pandanganku tertuju pada siswa 9I yang belum meninggalkan sekolah. Hal yang jarang aku temui. Kelas 9I memang sangat mudah terlihat walau dari kejauhan. Letaknya di lantai 2 dan berada di sebelah timur setelah gerbang utama sekolah. Kelas itu menghadap ke arah barat. Di arah sana ada foto presiden beserta wakilnya dan ada 1 buah papan tulis. Di arah timur dan utara dibatasi oleh tembok, sedangkan di arah selatan berjejer jendela dan dilengkapi 2 buah daun pintu. Aku pun melangkahkan kaki ke arah sana walau ada perasaan yang mengganjal. Kakiku mulai melahap anak tangga dan tiba di teras kelas. Di situ kecurigaanku mulai terjawab. Saat di teras, tanpa sepengetahuan mereka aku mendengar suara berisik. “Ada bapak. Ada bapak,” ujar mereka bersahutan. Terdengar pula suara yang menyuruh agar mereka tidak berbisik. Sssst. Karena jendela ruang kelas tak menggunakan gorden, aku pun bisa melihat sebagian anak lelaki sedang di jongkok di area belakang. Sebagian memegangi balon. Aku pun pura-pura tak melihat. Begitu masuk, aku disambut dengan ucapan “Happy teacher day.” Aku pun terdiam. “Langsung bunyikan,” ujar salah satu siswa. Namun, confetti tak mengeluarkan bunyi. Akhirnya aku keluar lagi. “Masuk, Pak!” kata salah satu siswa. Ternyata confetti tak mengeluarkan bunyi. Di situ aku sebetulnya ingin tertawa sejadi-jadinya. Alhamdulillah, tertutupi masker. Mereka terlihat semakin gaduh dan saling menyalahkan satu sama lain. Akhirnya aku pun keluar lagi memenuhi permintaan mereka. Reka ulang begitula permintaan mereka. Saat masuk, aku pun menunggu momen confetti mengeluarkan bunyi. Namun, yang ada hanya suara gaduh yang semakin menjadi-jadi tanda kekecewaan. Karena tidak bunyi, akhirnya aku terima kue yang telah mereka persiapkan. Walau masih terlihat rau kecewa, mereka mengajakku berfoto bersama. Aku pun bersedia guna mengobati kekecewaan mereka.

Seremoni memang tak bisa dilakukan setiap saat. Namun, saling mendo’akan dalam kebaikan setiap saat. Do’akan kebaikan agar malaikat mengamiinkan do’a yang sama. Seremoni perlu dilakukan sesekali, namun hal yang perlu sering dilakukan adaah silaturahmi. Sejatinya silaturahmi itu menyatukan dengan cinta kasih. Semoga jalinan silaturahmi yang sempat kita rajut tetap terjaga meski kelak terikat ruang, jarak, dan waktu. Dengan begitu, semoga kita bisa diluaskan rezeki  dan dipanjangkan usia. Aamiin.

Wish you all the best, 9I tahun ajaran 2021-2022.

 

  Praktik Baik : Menjadi Content Creator Bernilai Citra Roska Awaliyah, M.Pd Guru IPA SMPN 3 NGAMPRAH Calon Guru Penggerak Angkatan ...